Awal dulu saya kuliah di Bandung, saya merasakan Bandung begitu dinginnya. Sampai-sampai, saya tidak pernah mandi pagi atau malam kecuali pakai air hangat atau pakai jaket kalau pergi kemana-mana. Seiring dengan berjalannya waktu, ternyata terjadi proses adaptasi yang tidak saya sadari yang menjadikan saya tidak perlu lagi mandi air hangat atau memakai jaket. Sialnya, kalau pulang kampung, saya merasa suhu udara di kampung saya menjadi panas sehingga keringat harus meleleh setiap saat. Proses adaptasi dengan suhu di Bandung yang dingin menjadikan saya merasa sumuk dengan suhu di kampung. Padahal, sebelumnya saya menganggap suhu di kampung saya itu biasa-biasa saja.
Pada waktu kuliah, saya termasuk yang tidak setuju dengan praktek korupsi dan kolusi. Masuk menjadi pegawai negeri, ternyata lingkungan dan keseharian kerja saya harus banyak berurusan dengan dua masalah tersebut. Ada korupsi uang, korupsi waktu, korupsi jabatan, dan lain-lain. Kolusi? sama saja. Selalu ada dan setia menemani setiap saat. Awalnya, tentu saja shock dan selalu mencoba untuk menjadi pemberontak. Tetapi, karena ritme seperti itu terjadi setiap hari dari Senin sampai Jumat, akhirnya kembali terjadi proses adaptasi dan "evolusi" yang bersifat "alamiah". Pada tahap awal, proses adaptasi ini masih terbatas pada fase untuk memaklumi dan menerima hal tersebut sebagai sesuatu yang "wajar" dan "normal". Namun yakinlah, lambat laun, seiring dengan berjalannya waktu, bisa jadi saya akan beradaptasi dan berevolusi lebih jauh: dari sekedar memakluminya menjadi menjalankannya. Syukurnya, baru 4 tahun bekerja, saya mendapat beasiswa sekolah lagi di Bandung. Hal ini menjadikan proses adaptasi yang tengah berlangsung terputus sama sekali, karena saya memang tidak pernah lagi mau mengurusi pekerjaan di kantor karena status saya yang memang sedang tugas belajar.
Kondisi lingkungan, tanpa disadari (atau disadari sekalipun), memang akan membuat seseorang bisa berubah (beradaptasi). Awalnya, proses perubahan (adaptasi) yang terjadi mungkin hanya sebatas pada tahap menerima, memaklumi, atau mungkin "pasrah". Tetapi, lambat laun, proses adaptasi akan cenderung menjadikan kita juga sebagai pelaku aktif.
Lingkungan yang kotor, dimana banyak orang tak mau ambil pusing dengan masalah sampah, akan menjadikan kita juga tak mau ambil pusing dengan masalah sampah. Kondisi lalu-lintas yang semrawut, dimana banyak orang yang tidak perduli dengan ketertiban lalu-lintas, hak dan kewajiban pengendara kendaraan bermotor, bermobil dan pejalan kaki, akan menjadikan kita juga manusia yang seperti itu (tanpa kita sadari). Atau, jika kita tidak atau belum menjadi manusia seperti itu, kita akan bersikap pasif atau permisif.
SBY dalam kunjungan mendadaknya ke Pulau Kelapa merasa kecewa dengan kondisi sekolahan yang kotor. Di lain pihak, guru-guru dan murid mungkin menganggap bahwa kondisi seperti itu tidaklah kotor. Atau mungkin menganggap bahwa kotornya sekolah mereka adalah sebuah "default" yang memang sudah dari sononya dan harus diterima. Mungkin kunjungan SBY dan bantuan uangnya yang sekian ratus juta, akan menjadikan sekolah tersebut bersih selama beberapa minggu. Namun yakinlah, selepas dari masa "indah" itu, sekolah tersebut akan menjadi kotor lagi seperti kondisi semula. Kembali ke posisi "default", kondisi yang "normal" di mata mereka.
SBY cukup sewot, padahal beliau baru melihat sekolah yang kotor. Andai saja beliau juga sempat melihat kondisi pelabuhan pada saat sunrise dan sunset, saya yakin kesewotannya akan semakin bertambah besar. Di saat yang indah tersebut (sunrise dan sunset), pelabuhan di Pulau Kelapa biasanya akan berubah fungsi menjadi tempat buang air besar yang nyaman bagi para penduduk di sana. WC umum tidak ada, dan mungkin tidak akan laku jika diadakan di sana. Maka dari itu wajar saja jika Bupati lebih memilih untuk membuat tempat mendarat helikopter daripada hal-hal yang berhubungan dengan fasilitas umum.
Salah satu cara yang cukup mudah untuk mengatasi masalah tersebut adalah: pindahkan Istana Presiden ke Pulau Kelapa, biar SBY bisa marah-marah setiap hari, dan Bupati serta pejabat yang lain tahu bahwa untuk mengubah sebuah kebiasaan harus dilakukan dengan mengubah kondisi lingkungan, memberikan pendidikan dan teladan yang baik, dan yang lebih penting lagi: perlu waktu dan harus konsisten. Tapi, pejabat mana coba yang mau ambil pusing dengan tetek-bengek melelahkan seperti itu? Dan ternyata, rakyat juga berpikiran hampir sama seperti itu. Daripada harus jadi anomali, lebih baik ikuti saja arus yang ada. Kalau sudah seperti itu, kenapa saya harus protes? hehehe…
SAtujuuuuu!!!!
Pindahkan Ibukota ke Jayapura
katanya .. polisi kalau tiap hari bergaul sama maling-maling … nanti jadi maling juga .. eh .. emang polisi banyak yang merangkap jadi maling juga ya ?