Kalau Sutiyoso sedang bingung dengan bagaimana caranya mengeyahkan sampah di Jakarta, Michiaki Shigehiro justru sedang pusing mencari timbunan sampah yang cukup banyak: “kalau bisa yang lebih dari 100 ton per hari!” begitu kira-kira doi berkata.
Untuk apa Shigehiro mencari tumpukan sampah seabrek-abrek? ternyata doi mau mengubahnya menjadi energi listrik. Shigehiro adalah general business manager Eco Valley Utashinai, sebuah perusahaan yang mengubah sampah menjadi energi dengan menggunakan teknologi plasma arc, sebuah “sentakan” listrik yang mengionisasi gas dalam sebuah bilik (chamber) dan menghasilkan temperatur lebih dari 16.000°C, setara dengan 3 kali panasnya permukaan matahari. Sebuah teknologi seharga USD 59 juta, yang untuk menutupi investasi yang besar itu diperlukan timbunan sampah yang melimpah. Begitulah berita yang saya baca di majalah Nature online yang kebetulan bisa diakses gratis kalau komputer jinjing saya dicolokin ke jaringan di institut tempat saya kerja. Sebelumnya mohon maaf (dan koreksinya) kalau banyak istilah teknis yang saya juga bingung mencari atau salah memberikan padanannya dalam bahasa Indonesia, terutama pada istilah-istilah yang berhubungan dengan teknologi plasma arc ini.
Menurut artikel itu, secara teori pembuangan sampah akan menjadi bisnis yang menguntungkan dan ramah lingkungan dengan mengubah sampah yang digaskan (gassified waste) menjadi energi. Di atas kertas, sampah padat perkotaan (SPP) mengandung sepertiga hingga setengah energi batubara pertonnya dan mampu untuk memasok energi dalam skala nasional. Pembangkit plasma Utashinai adalah satu-satunya fasilitas pendaur ulang SPP menjadi energi yang sudah beroperasi dan mampu untuk bertahan hidup sejak tahun 2002.
Beberapa perusahaan, yang berharap mampu meningkatkan kinerja yang sudah dihasilkan Jepang, saat ini juga tengah merancang fasilitas plasma arc mereka. Geoplasma, sebuah perusahaan yang berbasis di Atlanta bahkan sedang dalam tahap akhir perancangan sebuah pembangkit dengan ukuran yang 10 kali lebih besar daripada Utashinai yang akan dibangun di St Lucie, Florida. Jika rancangan ini selesai, maka pada tahun 2009 pembangkit ini akan mampu mengubah 2.700 ton sampah per hari menjadi energi listrik. Sementara itu Startech Environmental di Wilton, Connecticut mengumumkan kontraknya untuk membangun fasilitas serupa dengan kapasitas 180 ton per hari di Panama. Perusahaan lainnya yang saat ini masih dalam tahap negosiasi untuk pembangunan fasilitas serupa di Ottawa dan Barcelona adalah Plasco Energy Group di Ontario.
Plasma arc sendiri sebenarnya adalah sebuah teknologi lama, meskipun pemanfaatannya untuk pengolahan sampah dalam skala besar masih termasuk baru. Teknologi ini telah dikembangkan dan digunakan oleh NASA sejak tahun 60-an untuk mensimulasikan temperatur tinggi yang dialami pesawat ruang angkasa ketika memasuki atmosfer bumi. Semenjak perusahaan-perusahaan seperti Startech dan Westinghouse Plasma di Madison mengembangkan plasma arc pada tahun 90-an yang digunakan oleh Geoplasma untuk mengolah sampah, “obor” plasma (plasma torches) ini banyak digunakan untuk melumerkan sisa logam atau menghancurkan material yang berbahaya.
Obor ini dibuat dengan mengionisasi udara dalam bilik dengan sebuah powerful electric arc (apa ya padanannya dalam bahasa Indonesia?) untuk membangkitkan plasma, yang selanjutnya digunakan untuk memanaskan SPP, arang (coke), dan batu kapur (limestone) dalam sebuah bilik yang miskin atau hampa(?) oksigen (oxygen-starved chamber). Dalam kondisi ini, obor plasma akan memanasi campuran tersebut hingga suhu di atas 1500°C untuk mem-vitrifikasi (vitrify: change into glass or a glass-like substance by applying heat) material anorganik dalam SPP tanpa terjadi pembakaran (combution). Ampas/sisa yang tidak berbahaya yang dihasilkan dari proses ini dapat digunakan sebagai bahan konstruksi, meskipun harganya tidak cukup komersial alias tidak terlalu menguntungkan.
Yang lebih penting lagi, panas yang ada mampu menguraikan molekul organik dalam SPP. Jika dalam pembakaran yang biasa akan dihasilkan banyak gas karbon dioksida, maka dalam sebuah lingkungan dimana jumlah oksigennya terbatas, SPP akan diubah menjadi sebuah campuran dengan kandungan gas utama karbon monoksida dan hidrogen yang disebut syngas. Nah syngas inilah yang bisa dimanfaatkan untuk menggerakan turbin gas. Hidrogen yang dimurnikan bisa langsung digunakan sebagai bahan bakar, sedangkan campuran gas yang dihasilkan dari sampah ini terlebih dahulu harus diolah lagi untuk mengurangi kandungan polutan seperti nitrogen oksida dan dioksin, yang akan masuk ke dalam turbin atau lepas ke atmosfer.
Jepang sudah cukup sukses dengan teknologi ini. Pembangkit Utashinai sudah mampu menghasilkan 3000 megawatt energi per tahun, yang semuanya digunakan untuk menjalankan pembangkit tersebut. Nah sekarang mereka sedang bingung mencari sampah, karena suplai sampah di kota itu semakin berkurang. Namun demikian, selama ini ternyata baru 60% sampah (dari yang diharapkan oleh perusahaan) yang bisa diolah, selain itu energi listrik yang dihasilkan masih terbatas untuk digunakan oleh pembangkit itu saja, belum ada yang dijual. Fasilitas yang ada juga mengalami masalah operasional, dimana satu dari 2 fasilitas plasma arc yang ada sering tak beroperasi untuk perbaikan. Dan kalau kedua fasilitas yang ada itu berjalan semua, eh sampahnya yang tidak cukup.
Mengimpor sampah, itulah salah satu alternatif yang ada agar pembangkit Utashinai bisa tetap beroperasi optimal. Sayangnya penduduk di sana masih tidak bersedia jika daerah tempat tinggalnya dijadikan tempat penimbunan atau pengolahan sampah dari daerah lain. “Tidak ada orang yang punya persepsi yang baik tentang sampah!” begitu kira-kira kata Shigehiro.
Pada pembangkit Utashinai, energi yang mampu diubah menjadi listrik hanya 15% saja, karena turbin gas yang digunakan dalam pembangkit ini lebih murah harganya jika dibandingkan dengan apa yang tengah dirancang oleh Geoplasma. Geoplasma rencananya akan menggunakan turbin gas seharga USD 40 juta dengan efisiensi 40%.
Meskipun teknologi ini memiliki potensi yang menakjubkan untuk mengurangi tumpukan sampah yang menggunung, namun penggerak lingkungan masih saja mewaspadai akan potensi polutan yang ada dalam syngas. Dalam laporan tahun 2006 tentang strategi konversi termal SPP, Greenaction for Health and Environmental Justice yang berbasis di Kalifornia menyebut teknologi plasma arc dan gasifikasi dengan pemanasan tinggi lainnya sebagai incenerator yang tersamar.
Hmm… masalah sampah memang pelik ya? Sudah mbuang sampah belum hari ini? “saya mbuang dua!” kaya iklan minuman yang ada bakterinya aja…
Oh ya bagaimana prospek sampah Jakarta pak?
Di rekomendasikan saja lewat BPPT, untuk menyelesaikan masalah sampah jakarta. Dana bisa dicarikan, asal setelah dapat dana jangan dicuri. 🙂
# helgeduelbek:
susah amat nulis namanya…
soal sampah, udah bosen deh kayaknya ngasih rekomendasi…
artikel anda cukup menarik. bolekkah aku pinjem buku yang berisi alat tsb.trims untuk kajian kuliah
menarik
“namun penggerak lingkungan masih saja mewaspadai akan potensi polutan yang ada dalam syngas. Dalam laporan tahun 2006 tentang strategi konversi termal SPP, Greenaction for Health and Environmental Justice yang berbasis di Kalifornia menyebut teknologi plasma arc dan gasifikasi dengan pemanasan tinggi lainnya sebagai incenerator yang tersamar.”
klo boleh saya tahu, kira2 apa alasannya dari kutipan artikel tersebut di atas? saya ingin tahu lebih jauh kekurangannya, agar nantinya kita juga tidak merasa rugi bila menerima teknologi ini
konversi biomassa jadi listrik udah sering kedengeran, tapi aku penasaran teknologi deteilnya kaya apa? ada referensi yang bisa di pelajari gak? makasih..
cukup menarik dan perlu ditindak lanjuti…
Sekali ini ada baiknya Pak Sutiyoso belajar PLT-SPP dari Jepun, ketimbang SPP dituduh sebagai kambing hitam banjir melulu yah. Timbunan SPP di Bantar Gebang malah jadi komoditas ekspor buat negara tetangga seperti Singapura buat ngurug pantainya.
Kekurangannya juga lumayan sih…tampaknya seperti dijelaskan di atas …konsep syngas dari SPP bisa jadi energi alternatif bagi PLN selain batubara dan air cuma…urusannya jadi ke polusi udara dan ngefek ke hujan asam yang banyak terjadi di kota industri maju mungkin, dan artinya biaya eksternalitas yang harus dibayar anak cucu.
Saran saya sih SPP dikategorikan dulu baku mutunya, standarisasi nasional dulu deh amannya mana yang ampas/sisa buat dimasukkan tungku, mana yang bisa dibikin bahan bangunan, mana yang bisa dieksport etc.
Jadi…SPP siapa takut? (iklan juga ya Pak Agus he he he)
keren banget teknologinya, coba di indonesia udah ada yang begitu, gak bakalan kejadian bandung yang tadinya dapat julukan kota kembang berubah julukan jadi kota sampah
Menurut saya hal ini adalah peluang investasi yang menguntungkan di Indonesia, karena bagi perusahaan yg investasi di proyek LISTRIK DARI SAMPAH, hanya butuh modal untuk teknologi, sedangkan bahan baku tersedia cukup banyak (sampah setiap tahun meningkat), sedangkan hasil produksinya sepertinya PLN, siap untuk menerimanya untuk di salurkan mengingat pasokan listrik dari pln masih belum cukup
“untuk membangkitkan plasma, yang selanjutnya digunakan untuk memanaskan SPP, arang (coke), dan batu kapur (limestone) dalam sebuah bilik yang miskin atau hampa(?) oksigen (oxygen-starved chamber). Dalam kondisi ini, obor plasma akan memanasi campuran tersebut hingga suhu di atas 1500°C untuk mem-vitrifikasi (vitrify: change into glass or a glass-like substance by applying heat) material anorganik dalam SPP tanpa terjadi pembakaran (combution).”
hal ini saya ga bisa bayangkan reaksinya…ada detailnya secara kimiawi?
membaca artikel ini saya ingat mata kuliah pengelolaan persampahan, tapi masih teknologi incenerator biasa, dulu saya sempat bayangkan Kota padang punya teknologi ini, dan sempat ancang-ancang Tugas Akhir masalah ini, apa daya ga sanggup.
Makanya ketika baca ini saya tertarik, tapi teknologi ini mahal ya, mungkin saja bs diterapkan di Indonesia, kalo punya SDA dan dana yang cukup, sayang Pemerintah kita kebanyakan orientasi beda, dana ini pasti incaran silap tuh hi…hi…
Artikel yang fantastis…
bagus
ide yang sangat best, kebetulan saya sangat tertarik dengat teknology sampah jadi listrik, mohon petunjuk dimana saya dapat bukunya tentang Pemanfaatan samapah jadi listrik, sebagai bahan untuk kuliah
Potensi biomassa berapa ya ? Dan berapa % yang sudah dimanfaatkan. Khususnya di Indonesia. Selama ini, data yang ada berbeda-beda dan kurang terupdate. Sangat menyenangkan jika sampah di Indonesia dapat dihilangkan, yah minimal berkurang. Terima kasih infonya
Kelihatannya Teknology pengolah sampah mulai bermunculan. Bagi sebagian investor keuntungan bisa di nomor 2 kan setelah lingkungan hidup. Terobosan yang di butuhkan saat ini adalah aturan Pemerintah dimana kelebihan listrik swasta di beli oleh PLN dengan meteran terpisah (seperti halnya yang berlaku di Amerika). Bagaimana Teknology bisa di pacu apabila kelebihan listrik harus di buang tanpa bisa di jual ? Untuk menjual Listrik ketetangga saja perlu SK Menteri / President sedangkan PLN mau belinya dalam MW saja. hemmmm
masalah sampah susah bngt,,,,,,
malah sekarang masyarakat kurang memeperhatikan lingkunganya……
Bagaimana kalo m’bahas masalah daur ulang sampah plastik dan kertas?
*glek….
pak di Bandung aja ribut mau bikin pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa)….ya gitu pak…orang2 sih suka nya ribut…..dari pada uangnya dibikin pembangkit listrik mending dibagi2 untuk bikin tim peninjau atau dipake rapat dewan…
capek deh….. (iklan juga…)
blog ini aq baru dapat. Wah . . . pikir cuma aq and some my friend yang terpikir untuk ubah bangsa ini. kami juga sedang bergelut utk kaRya tulis dengan masalah ini . . . ayo ubah pola pikir kita “BANGSA INI PUNYA KELEBIHAN DARI JUMLAH PENDUDUK” ayo kita kelola ini semua.
Iya…PLTSa di Bandung ribut, gara2 pemilihan lokasi yang dianggap kurang tepat. Masa ga bisa dapet tempat yang lebih layak seh ?
wah bagus tuh.apalagi kalau di indonesia dilakukan seperti itu, pasti negara kita bersih dan semakin makmur listriknya……….^-^
wuishhhhhh……………………………
salut bang! koq bisa gitu sich!
so n’tar qt bisa ngeimplementasiin kata “save our earth” heeeeee…………
Di Swedia bis kotanya pakai BBM listrik dari sampah.
emang yakin nanti emisinya ga da masalah.
pakrik boleh minta cara detail na,kita tertarik banget.mungkin bisa coba praktek dengan cara yang lebih sederhana.ato bleh mnta referensi na
waah…jadi inget masa SMA dulu, aq da buat makalah tentang ini, tp belum pernah nyoba langsung. kebetulan aq kuliah ambil SWM (solid waste Management) di UMM Malang. ada literaturnya ga?????
adakah pengelolaan sampah untuk menjadi listrik dengan biaya murah? teknologinya bisa saya temukan dimana ya? tks
Assalamualaikum wr wb,
Pemanfaatan bio mass sebagai energi di Jakarta sangat memungkinkan di Jakarta, baik secara tehnis maupun financial ( Insyaallah saya siap mencarikan investor) tetapi secara kultural hal tersebut sangat sulit dilakukan di jakarta karena kultur bersih belumlah menjadi kebutuhan dan tuntutan masyarakat, terlebih lagi terlalu banyak pihak yang sangat berkepentingan dengan sampah di jakarta dan kondisi kotor jakarta yang justru menjadi lahan untuk meraih pendapatan oleh segelintir masyarakat dan aparatur pemerintahan, saran untuk Bang Foke, perlu komitment kuat dan kalau perlu restukturisasi Dinas kebersihan jakarta, kalau tak perlu dibubarkan atau pilihan lain adalah swastanisasi masaalah pengelolaan kebersihan, Insyaallah Jakarta akan bersih, saya haqul yakin!!!
This blog is just superb, I assumed I do know a lot, but I’m so mistaken, like the previous saying the extra you already know, the additional you find out how little you know. Thanks for the info.
thank’s dah dikasih tau soal nya di buku ku cuma ada sedikit keterangan trus di bawahnya ada alamat webnya jadi trus aq buka