Buat yang tinggal di Pulau Jawa, pernah jalan-jalan ke luar Pulau Jawa nggak? Suka merhatiin nggak gimana transportasi umum di kota-kota di luar Jawa yang disinggahin? Hebat ya? ternyata angkutan umumnya sama. Sama-sama angkot kecil, suka ngetem dan berhenti sembarangan, banyak jumlahnya, nggak nyaman dan bikin macet.
Pernah merhatiin trotoarnya nggak? Eh ternyata sama juga ya, banyak yang nggak enak buat jalan kaki dan banyak yang dipake sama tukang dagang kaki lima (untung bukan kaki seribu). Pernah nyoba nyeberang di persimpangan yang ada lampu lalu-lintasnya nggak? Sama susahnya kan sama di Jawa? Gambar orang yang nandain boleh nyeberang kalau warnanya hijau selalu berwarna merah, terus mobil/motor dapet hak istimewa “belok kiri langsung!”. (Jadi inget perempatan Pasar Simpang sama perempatan Jl.Merdeka deket BIP, kalau nyeberang harus penuh perjuangan. Meleng sedikit, bisa dipanggil “anjing!” sama yang naik mobil atau motor. Sadis euy!).
Pernah ngerasain macet nggak? Pasti dong! Kalau jalan di Indonesia nggak ada macetnya, belum komplit namanya. Ibaratnya, bagai malam tak berbintang atau bagai sayur tanpa garam. Wuih, jadi inget rayuan gombal masa berpacaran!
Terus pernah mikirin dan nanya dalam hati nggak: “koq bisa ya semuanya sama amburadulnya? dari Sabang sampe Merauke minus Tim-Tim karena udah milih jadi negara sendiri lepas dari NKRI (Negara Kita Republik Indonesia)” Pasti pernah deh, hayo ngaku aja!
Kalau saya sering tuh terheran-heran. Bukan apa-apa, ya cuman heran aja, koq ya nggak ada kepala daerah di salah satu kabupaten/kotamadya/propinsi di Indonesia yang berani tampil beda, misalnya: angkutan umum di daerah yang dia pimpin jauh lebih nyaman, trotoarnya juga nyaman, tempat nyeberangnya uenak tenan, terus macetnya ya nggak kebangetan. Nggak ada yang kreatip kali ya? Kasihan juga ya? Padahal mereka pasti kan udah sering jalan-jalan studi banding sambil shopping ke luar negeri yang sistem transportasi, fasilitas umum dan fasilitas sosialnya OK punya.
Ya bener sih, mau udah ngelihat yang bagus-bagus, kalau dasarnya memang nggak kreatip, ya gitu: bengong dan bingung!. Apalagi kalau jadi kepala daerahnya cuman modal ijasah palsu, uang sama katabelece! Pasti deh tambah nggak mutu! Yang kasihan ya kita-kita juga, yang sama mereka suka disebut sebagai “rakyat”.
Kadang-kadang saya suka berpikir “sadis”: jangan-jangan yang jadi pemimpin di negeri kita itu kebanyakan adalah PC (produk cacat) yang nggak lulus QC (quality control) alias BS (barang sisa). Lho, tapi koq bisa jadi pemimpin? Ya bisa dong, PC atau BS kan biasanya diobral biar laku. Jadi pakai pendekatan “obral” sesuai selera konsumen biar kepake. Obral ke sini-ke situ, titipin ke sini-ke situ, dst… dst… Lha, konsumennya siapa? Siapa lagi kalau bukan cukong-cukong yang targetnya memang cari untung.
Terus, solusinya gimana? Ya susah-susah gampang (kata “susah” diulang dua kali sementara kata “gampang” nggak diulang, artinya lebih banyak susahnya daripada gampangnya), masukin aja ke dalem karung terus buang deh ke TPA (tempat pembuangan akhir). Bener kan banyak susahnya! Siapa coba yang bisa masukin beliau-beliau ke dalem karung? Lha wong mau ketemu aja susahnya minta ampun, harus lewat satpam yang kumisnya melintang kaya jepitnya kalajengking.
Ah saya mah bisanya ngomong doang! Sok coba nanti kalau diangkat jadi pemimpin, belum tentu juga inget sama yang diomongin sekarang! Apalagi kalau udah banyak dapet fasilitas: uang makan, uang seragam, pakaian olah raga, mobil dan rumah dinas, de-el-el. Lidah mah tak bertulang, ngomong mah gampang!
Aduh maap atuh kalau gitu! Koq saya dimarahin sama saya juga? Koq jeruk minum jeruk? Jadi inget Joshua waktu masih ngetop jadi bintang iklan! Udah ah… maap ya kalau gaya bahasanya amburadul dan sarkastis.