Feeds:
Pos
Komentar

Archive for November, 2006

Dana Taktis

Geli juga saya membaca berita di detik.com yang berjudul: “Orasi Ilmiah Mantan Menteri Kelautan Dibiayai Dana Pungutan”. Membaca berita itu, saya jadi teringat dengan postingan saya yang sudah cukup lama yang berjudul: “Staf Ahli, Staf Khusus, dan PNS”, dimana secara sepintas saya juga sedikit menyinggung tentang dana taktis ini.

Di banyak lembaga pemerintah, seperti juga tempat kerja saya, yang namanya dana taktis itu memang ada, dan hampir semua pegawai, baik dari level yang paling tinggi hingga yang paling rendah, sudah tahu tentang hal itu. Biasanya dana taktis ini diperoleh dari uang Daftar Isian Proyek (DIP), sekarang kata kawan saya namanya diubah menjadi DIPA (Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran), yang “diakalin” sehingga tidak benar-benar dikeluarkan sesuai dengan apa yang tertera di dalam DIP dan masuk ke dalam rekening khusus. Atau bisa juga dana taktis ini diperoleh dari uang yang seharusnya disetor ke negara yang “diakalin” sebagian. Dana taktis ini biasanya memang digunakan untuk berbagai macam kegiatan “strategis” yang tidak tertera di dalam DIP. Kadang-kadang malah dana taktis ini juga dialokasikan untuk membayar THR para karyawan di saat menjelang hari raya, mensubsidi premi asuransi di luar asuransi kesehatan yang sudah ada untuk PNS, dan bahkan ada juga yang untuk membayar uang kurban di hari raya Idul Adha (bayangin saja, masa kurban dibayarin kantor?). Jadi, sesuai dengan namanya, memang dia bersifat taktis 🙂

Dari sudut pandang orang yang jujur dan bersih, jelas praktik semacam ini sudah masuk ke dalam kategori penyelewengan uang negara, tapi kalau karyawan sudah sama-sama diuntungkan, mereka bisa menyebutnya sebagai sebuah penyelewengan yang baik. Nah mendanai orasi Pak Menteri untuk jadi Profesor kan juga termasuk kegiatan yang baik toh? atau memanfaatkan dana taktis tersebut untuk kegiatan sosial, itu juga baik kan? hihihi… Jadi seperti cerita Robin Hood yang merampok untuk dibagikan kepada rakyat. Ah, jangan-jangan mereka memang penggemar Robin Hood ya?

Sejujurnya, seperti sudah saya katakan sebelumnya, hampir sebagian besar lembaga negara mengenal akan dana taktis ini. Hanya saja, pengalaman mengelola dana taktis selama berpuluh-puluh tahun akan menjadikan mereka pemain yang lihay dan susah untuk diendus oleh para auditor, karena memang bukti hitam di atas putihnya tidak ada, selain itu secara administratif memang sudah sesuai dengan prosedur yang ada dan tidak ditemukan yang namanya penyimpangan. Maka dari itu, menjerat para pemain dana taktis adalah sesuatu yang sulit dan saya yakin bahwa sebagian dari mereka yang akhirnya kini terendus oleh auditor dalam penggunaan dana taktis ini adalah para pemain yang kurang lihay, kurang berpengalaman -alias masih baru-, tidak berbakat, atau mungkin bolos ketika pelajaran pembagian jaman sekolah dulu, jadi hanya sempat masuk dan belajar pengurangan, penambahan, dan perkalian saja 🙂

Selain dana taktis yang tujuannya untuk berbagai macam kegiatan “strategis” tersebut, di akhir tahun anggaran biasanya para pengelola proyek sedang royal-royalnya menghabiskan uang “sisa” anggaran proyek. Ini juga fenomena yang lucu dan konyol, karena kalau anggaran tidak habis sesuai dengan apa yang tertera di dalam DIP, maka di tahun anggaran berikutnya jumlah dana yang akan diberikan ke lembaga yang anggarannya tidak habis itu akan dikurangi. Dari sudut pandang lembaga yang tidak becus menghabiskan dana DIP, ini adalah sebuah kerugian dan prestise buruk, karena dianggap tidak mampu membuat sebuah rencana kerja yang baik, maka dari itu uang yang tidak habis itu terpaksa harus dihabiskan bagaimanapun caranya. Mengembalikannya ke kas negara akan sama saja dengan bunuh diri, begitulah kira-kira. Dari sudut pandang orang yang jujur dan bersih, ini jelas penghambur-hamburan uang negara dan sebuah pola pikir yang keblinger, tapi mau bagaimana lagi. Kata Ranggawarsita: “Jamane jaman edan, nek ora melu edan ya ora keduman…”

Makanya, coba perhatikan dengan seksama di bulan-bulan seperti sekarang ini, pasti akan banyak kita temui acara-acara seminar atau rapat kerja yang dilakukan di hotel-hotel mewah… “lagi ngabisin anggaran boss!”

Read Full Post »

Dana Pensiun PNS

Ada sedikit yang saya kira perlu diluruskan dari komentar Menteri Negara Pemuda dan Olah Raga tentang dana pensiun untuk pegawai negeri sipil (PNS) yang dimuat di detik.com dengan judul: “Menneg Pora Setuju Dana Pensiun Pejabat Tinggi Dihapus”. Dalam berita itu Menneg Pora mengatakan:

Mereka beranggapan, menjadi PNS itu nyaman, karena dapat asuransi kesehatan dan uang pensiun di kemudian hari. Ini juga harus dihapus secara pelan-pelan, tandasnya.

Ada persepsi yang salah dalam pendapat Pak Menteri itu, seolah-olah fasilitas asuransi kesehatan dan uang pensiun diperoleh oleh PNS secara cuma-cuma, padahal sebenarnya (dan hal yang sesungguhnya terjadi) adalah setiap bulan para PNS dipotong gajinya untuk asuransi kesehatan dan dana pensiun. Semakin tinggi gaji si PNS, semakin besar pula uang potongannya. Uang untuk asuransi kesehatan kemudian dikelola oleh PT. ASKES, sementara untuk dana pensiun oleh PT. TASPEN (itu kalau belum berubah ya!).

Itu sama saja kasusnya dengan kalau kita membuat asuransi kesehatan sendiri ke perusahaan asuransi swasta, dimana setiap bulannya kita diharuskan membayar uang premi. Hal yang sama juga berlaku jika kita ikut program dana pensiun yang diadakan oleh perusahaan dana pensiun swasta. Carilah info yang lengkap terlebih dahulu Pak Menteri, sebelum anda mengucap sesuatu yang mungkin kurang tepat ke media massa!

Kalau untuk dana pensiun menteri atau pejabat-pejabat tinggi lainnya -yang masa jabatannya singkat, tetapi mendapat uang pensiun seumur hidup yang sangat besar dan fasilitas kesehatan yang super mewah- itu mungkin layak dikaji ulang, karena terlihat adanya ketidak-fair-an di sana, dan memang benar terlalu membebani anggaran negara. Tetapi untuk asuransi kesehatan dan dana pensiun PNS, yang memang secara ril mereka membayar premi bulanan, tentu akan lebih baik jika sistem manajemen di PT. ASKES dan PT. TASPEN lah yang diperbaiki jika terjadi kebocoran dana atau hal-hal lain yang merugikan. Atau bisa juga dengan memberlakukan aturan baru, seperti memperpanjang usia pensiun PNS, atau bahkan secara serius menerapkan zero growth bagi PNS (wacana zero growth ini sudah saya dengar sejak tahun 90-an, tetapi realisasinya nol besar karena birokrasi kita memang amburadul).

Saya kira, sistem asuransi kesehatan dan dana pensiun PNS adalah sesuatu yang sangat bagus dan layak ditiru, hanya saja mungkin karena manajemen yang amburadul di perusahaan pengelola dana atau malah di birokrasi pemerintahan, kesan yang timbul justru negatif dan malah dianggap merugikan negara. Apalagi dengan memberlakukan dana pensiun bagi para mantan wakil rakyat, menteri, dan pejabat-pejabat negara lainnya yang masa tugasnya relatif pendek. Kalau sudah begini, pemerintah sendirilah yang pantas untuk disalahkan, karena telah jor-joran dan keblinger dalam memberikan uang pensiun kepada mereka.

Sistem dana pensiun dan juga asuransi kesehatan adalah sesuatu yang lumrah dan harus ada di negara maju, itu artinya keputusan pemerintah Indonesia di jaman dahulu untuk mengadakan asuransi kesehatan dan dana pensiun bagi PNS (dan juga ABRI, sekarang TNI dan POLRI) adalah sesuatu yang mempunyai visi ke depan, mampu berpikir jangka panjang. Dan saya yakin, jika dana PNS yang terkumpul itu mampu dikelola dengan baik oleh PT. ASKES dan PT. TASPEN, dan tidak digerogoti oleh para birokrat yang brengsek dan para cecunguknya yang bau kecut itu, mereka akan sama besarnya seperti perusahaan asuransi kelas dunia. Sayangnya, di negeri Indonesia yang super korup, BUMN mana sih yang tidak diporotin uangnya sama para keparat itu?

Buat Pak Menneg Pora Adhyaksa Dault, gaul dikit dong sama PNS beneran! Kan banyak tuh di lingkungan kerja Bapak! Lagian tidak semua PNS itu jelek, banyak juga yang bagus! (contohnya gue! hahaha). Mau jadi PNS ataupun berwira usaha, kalau niatnya bagus kan gak masalah toh? Menteri juga ada yang jelek, lah Bapak kenapa mau jadi menteri juga? tanya kenapa? 🙂

Read Full Post »

Republik Amburadul

Meledaknya pipa gas milik Pertamina di kawasan kolam lumpur Lapindo menunjukkan betapa kacau-beliaunya manajemen pemerintah dalam menghadapi sebuah kondisi bencana. Tidak masuk di akal (menurut saya), bahwa pada sebuah kawasan yang dianggap berbahaya, Pertamina masih mengalirkan gasnya melalui saluran pipa yang berada di kawasan itu. Seharusnya, kalau memang benar pemerintah punya manajemen yang baik, Pertamina harus diperintahkan untuk menghentikan sementara pemfungsian saluran pipa gasnya sampai benar-benar diyakini bahwa tetap mengalirkan gas di instalasi yang berada di kawasan berbahaya itu adalah aman dan dapat dipertanggungjawabkan.

Memang pengaliran gas itu penting, karena Pertamina memasoknya untuk PT. Petrokimia Gresik, Perusahaan Gas Negara dan sebagian PLN (sumber: gatra.com), tetapi seharusnya untuk kondisi luar biasa seperti ini, Pertamina perlu mengkaji masalah keamanan dan keselamatan secara lebih hati-hati. Apalagi pipa itu ada pada kedalaman hanya 1,5 meter dari permukaan tanah dan dalam kondisi tertutup lumpur panas dan juga tanggul, serta adanya mobilitas di permukaan yang di atas normal. Artinya, peluang untuk terjadinya kerusakan pada pipa tersebut sangatlah besar.

Ketua Tim Nasional Penanggulangan Lumpur Panas, Basuki Hadimuljono, dalam Media Indonesia Online mengatakan bahwa relokasi pipa gas Pertamina ini sebenarnya sudah dimulai, tetapi masih pada tahap penelitian. Ia juga mengatakan bahwa belum tahu pasti pipa gas mana saja yang akan direlokasi, karena kewenangan merelokasi pipa tersebut ada pada pihak Pertamina.

Kalau begitu buat apa dibentuk tim nasional yang khusus seperti itu kalau tidak bisa membuat sebuah rencana menyeluruh yang bersifat mengikat semua pihak dalam menanggulangi bencana lumpur panas itu? Amburadul betul! Jelas bahwa banjir lumpur panas adalah kondisi luar biasa, artinya segala jenis kegiatan yang sensitif dan mengandung resiko akibat kondisi luar biasa ini harus dihentikan sementara, termasuk di dalamnya penyaluran gas melalui saluran pipa yang berada di kawasan tersebut. Toh prinsip keselamatan kerja juga seperti itu? Apalagi Pertamina bukanlah perusahaan kemarin sore yang baru seumur jagung dalam mengurusi masalah pipa-pipa gas ini, artinya Pertamina seharusnya sudah memperhitungkan bahwa resiko akan terjadi kerusakan pada instalasi pipa gas mereka besar kemungkinannya.

Ah! tapi sudahlah, namanya juga Republik Amburadul! yang dipikirkan kebanyakan hanya keuntungan sesaat saja! Saya sih hanya bisa turut berduka cita saja untuk para korban dan keluarganya, semoga saja ini merupakan kejadian terakhir yang memakan korban, dan semoga saja pemerintah bisa lebih serius mengurusi masalah yang sudah cukup berlarut-larut ini… amin!

Lah koq malah saya yang misuh-misuh? maap atuh euy…

Read Full Post »

Older Posts »