Pasca-dilantiknya Anies-Sandi sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta, berita tentang penolakan reklamasi 17 pulau di Teluk Jakarta santer menjadi berita utama di beberapa media massa. Bahkan, bukan hanya itu, petisi-petisi yang menolak reklamasi pun silih berganti bermunculan dan terus berlanjut hingga saat ini. Ada salah satu hal yang menarik ketika membahas reklamasi di Teluk Jakarta, yaitu banyak yang mengaitkannya dengan banjir air pasang (rob) dan pencemaran.
Saat supermoon pekan lalu (5 Desember 2017), sebagian pantura Jakarta terkena banjir pasang (rob) akibat tinggi muka air lebih tinggi daripada tanggul pesisir yang ada saat ini. Akibatnya, air laut meluap melampaui tanggul dan merendam kawasan yang permukaan tanahnya semakin rendah karena tingginya laju penurunan tanah (land subsidence). Sementara itu, Program National Capital Integrated Coastal Development (NCICD) masih belum rampung dan sempat “terganggu” akibat adanya Proyek Reklamasi 17 Pulau di Teluk Jakarta.
Pencemaran di Teluk Jakarta adalah lagu lama yang “abadi”. Hampir belum ada gerakan signifikan atau program yang berkesinambungan yang dilakukan untuk mengurangi atau menghentikan pencemaran yang sudah kasat mata dan banyak dibahas dalam penelitian-penelitian ilmiah dengan segudang buktinya. Bahkan Program Kali Bersih (Prokasih) yang sudah dicanangkan sejak 1989 pun belum menunjukan hasil yang signifikan hingga saat ini, meskipun di tahun 1995/1996 DKI Jakarta pernah meraih penghargaan sebagai propinsi terbaik yang melaksanakan Prokasih.
Menurut Direktur Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Pesisir dan Laut, Direktorat Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KLHK, Heru Waluyo, sumber pencemar terbesar di Teluk Jakarta adalah dari limbah domestik rumah tangga. Jumlahnya untuk limbah organik adalah 10.875.651,69 ton sedangkan limbah anorganiknya adalah 9.766.670,00 ton. Jika dibandingkan dengan limbah yang bersumber dari kegiatan industri, ternyata jumlah limbah domestik jauh lebih besar. Menurut data yang ada, limbah organik dari kegiatan industri adalah 52.862,75 ton, sedangkan limbah anorganiknya 24.446,06 ton (greeners.co, 11 Desember 2017). Luar biasa kan?
Hal yang menarik ketika membahas tentang Teluk Jakarta adalah keberadaan 13 sungai yang bermuara di teluk ini. Sungai-sungai ini, yang juga berfungsi sebagai sewage (comberan) yang mengalirkan limbah domestik rumah tangga dan terusan atas drainase-drainase yang ada di perkotaan, memberikan pengaruh yang signifikan pada semakin menurunnya kualitas air dan meningkatnya laju sedimentasi. Dalam postingan saya sebelumnya, pernah dibahas tentang jumlah sampah yang mengalir ke Teluk Jakarta dari ketiga belas sungai ini, meskipun jumlahnya masih simpang siur.
Ketika Ahok menjadi Gubernur DKI Jakarta, kegiatan untuk menjaring sampah-sampah di sungai agar tidak terangkut ke Teluk Jakarta cukup signifikan dilakukan dan terbukti mampu menurunkan jumlah sampah yang ada di Teluk Jakarta. Sayangnya jumlah sampah yang dibuang ke sungai secara umum tidak berkurang, bahkan cenderung terus bertambah. Rupanya kesadaran masyarakat untuk tidak menjadikan sungai sebagai tempat sampah perlu terus dibangun, dan mungkin masih memerlukan waktu hingga puluhan atau belasan tahun lagi agar dapat menjadi sebuah kebiasaan baru. Belum lagi, sampai saat ini pun sistem pengelolaan sampah di DKI Jakarta masih terbilang “primitif”, jauh tertinggal dari kota-kota metropolitan atau megapolitan lainnya di dunia.
Lalu apa hubungan antara rob dan pencemaran ini dengan reklamasi 17 pulau? Ada beberapa hal yang menurut saya harus dikritisi. Pertama adalah hal yang terkait dengan tata letak dan bentuk/desain 17 pulau reklamasi serta peraturan-peraturan yang mengatur jarak antar pulau dan jarak antara pulau dengan mainland. Apalagi untuk pulau-pulau reklamasi yang berdekatan dengan muara-muara sungai dan objek-objek vital serta akses bagi masyarakat pesisir. Jarak-jarak ini perlu diatur dengan data teknis yang sangat lengkap dan tidak bisa dibuat secara serampangan oleh otoritas yang berwenang karena akan secara signifikan mempengaruhi pola sirkulasi arus laut dan dinamika oseanografi di Teluk Jakarta dan sekitarnya. Sebagai contoh, Pulau C dan D yang berdekatan dengan muara sungai dan kawasan lindung dan hutan bakau tentu perlu diatur sedemikian rupa agar tidak terjadi pendangkalan yang dapat mengakibatkan suplai air ke kawasan mangrove terganggu. Atau Pulau G yang berdekatan dengan PLTU/PLTGU Muara Karang yang mengganggu sirkulasi limbah air hangat dan juga sirkulasi air laut yang digunakan untuk pendingin.
Hal kedua yang perlu dikritisi adalah yang berhubungan dengan peruntukan pulau reklamasi dan fasilitas-fasilitas dasar yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan peruntukan tersebut. Saat ini, akibat ekstraksi air tanah yang berlebihan, sebagian besar wilayah DKI Jakarta telah mengalami penurunan tanah dan pembentukan pulau-pulau reklamasi akan berpotensi meningkatkan penggunaan air tanah. Artinya, laju penurunan tanah di DKI Jakarta berpotensi untuk terus bertambah secara signifikan pascareklamasi dan hal ini bertentangan dengan semangat NCICD. Kalaupun kebutuhan air di pulau-pulau reklamasi akan dilakukan melalui pembangunan fasilitas sejenis reverse osmosis (RO), maka limbah brine water dari RO juga harus diperhatikan dengan seksama. Belum lagi analisis kebutuhan untuk instalasi pengolah air limbah (IPAL) bagi limbah domestik yang dihasilkan oleh kegiatan rumah tangga dan perkantoran yang ada di 17 pulau tersebut.
Hal ketiga yang perlu dikritisi adalah kebutuhan akan akses bagi mereka yang tinggal dan bekerja di pulau reklamasi tersebut. Belajar dari kasus pulau G, menyusul dengan mulai terbentuknya pulau, ternyata kemudian ada usulan untuk membangun jembatan dari pulau tersebut ke mainland yang di dalam kajian ANDAL sebelumnya tidak dibahas sama sekali. Kebutuhan ini baru dibahas kemudian ketika pihak yang berwenang meminta pengulangan atas kajian ANDAL sebelumnya. Keberadaan jembatan ini tentu saja akan signifikan mempengaruhi pola gelombang dan arus laut serta kegiatan masyarakat nelayan yang berada di sekitarnya.
Hal keempat yang juga tak kalah penting untuk dikritisi adalah material urug yang digunakan. Darimana saja material urug tersebut diambil dan apakah pengambilan material urug itu tidak secara signifikan mengganggu kondisi lingkungan?
Sebagai penutup, saya cenderung mengusulkan kegiatan reklamasi 17 pulau harus ditinjau ulang. Pulau reklamasi di Teluk Jakarta menurut saya masih mungkin untuk diwujudkan, namun jumlah dan tata letaknya harus dikaji ulang dengan sangat seksama. Ada negara yang sukses dan ada juga negara yang gagal dalam pengelolaan lingkungan pesisir, pengendalian laju penurunan tanah, dan pelaksanaan reklamasi yang bisa dijadikan rujukan bagi kita semua, jadi mengapa kita tidak belajar dari pengalaman-pengalaman tersebut?
Tinggalkan komentar