Negara kita memang masih mengenal kasta. Coba baca berita tentang “pembinaan” pengendara motor gede (moge) oleh Kapolda di detik.com (Delapan Klub Moge Dibina Kapolda 27 Feb dan Firman Gani Keliling Halaman Polda Pakai Moge). Geli saya membaca berita-berita itu, hampir sama gelinya ketika membaca berita tentang pengemplang dana BLBI yang diantar oleh Kapolri ke Istana Negara beberapa waktu yang lalu. Betapa begitu pentingnya “membina” para pengendara moge, sampai-sampai Kapolda sendiri yang harus turun tangan membina mereka. Sama seperti Kapolri, ternyata Kapolda Jaya juga baik sekali orangnya. Belajar dimana sih Pak, koq bisa ya jadi pejabat “sebaik” itu?
Oh iya, isu arogansi pengendara moge sendiri baru mencuat ke permukaan dan mendapat “sambutan hangat” dari beberapa pejabat seperti Kapolda dan Gubernur dan juga media massa setelah seorang ibu bernama Sarie Febriane, yang katanya seorang wartawati, menceritakan pengalaman buruk yang dialaminya ketika ada konvoi moge ke milis-milis. Padahal kesombongan pengendara moge sudah sering terjadi dan sudah memakan banyak korban pula.
Tetapi, kalau mau jujur, sebenarnya pengendara kendaraan bermotor di Indonesia itu banyak juga yang sama sombongnya dengan pengendara moge. Coba lihat di jalan-jalan ketika waktu puncaknya macet, kalau saja pejalan kaki tidak hati-hati dan mengalah jalan di trotoar (yang jelas-jelas disediakan untuk pejalan kaki) mungkin mereka akan disambar oleh para pengendara sepeda motor yang dengan sombong dan tanpa punya “kemaluan” menggunakan trotoar untuk menghindari kemacetan.
Lihat juga di zebra cross yang tidak dilengkapi dengan lampu lalu-lintas, atau bahkan yang dilengkapi dengan lampu lalu-lintas, mentang-mentang di peraturan lalu-lintas ada aturan yang menyatakan bahwa yang belok kiri boleh langsung jalan, pengendara kendaraan bermotor yang di persimpangan mengambil belok kiri jarang ada yang mau memberi kesempatan kepada penyeberang jalan untuk lebih dahulu menyeberang. Boro-boro memberikan kesempatan, memelankan sedikit laju kendaraannya pun tidak. Bahkan kalau ada penyeberang yang nekat menyeberang, makian “anjing” dan sejenisnya pun akan langsung keluar dari mulut pengendara tanpa “kemaluan” itu (dengan efek “ludah yang muncrat”). Belum lagi urusan membunyikan klakson, asap knalpot yang membuat polusi dan sesak napas, parkir sembarangan di trotoar, kebut-kebutan, dll.
Orang kita memang masih banyak yang suka aneh-aneh, baik pejabat maupun rakyatnya. Masih ada yang suka memandang kasta dalam berbuat baik, dan tak sedikit pula yang suka bertingkah arogan dan tidak disiplin. Mudah-mudahan saja saya dan seluruh keturunan saya kelak selalu dijauhkan dari sifat jelek seperti itu. Amin!