Feeds:
Pos
Komentar

Archive for Februari, 2006

Kasta

Negara kita memang masih mengenal kasta. Coba baca berita tentang “pembinaan” pengendara motor gede (moge) oleh Kapolda di detik.com (Delapan Klub Moge Dibina Kapolda 27 Feb dan Firman Gani Keliling Halaman Polda Pakai Moge). Geli saya membaca berita-berita itu, hampir sama gelinya ketika membaca berita tentang pengemplang dana BLBI yang diantar oleh Kapolri ke Istana Negara beberapa waktu yang lalu. Betapa begitu pentingnya “membina” para pengendara moge, sampai-sampai Kapolda sendiri yang harus turun tangan membina mereka. Sama seperti Kapolri, ternyata Kapolda Jaya juga baik sekali orangnya. Belajar dimana sih Pak, koq bisa ya jadi pejabat “sebaik” itu?

Oh iya, isu arogansi pengendara moge sendiri baru mencuat ke permukaan dan mendapat “sambutan hangat” dari beberapa pejabat seperti Kapolda dan Gubernur dan juga media massa setelah seorang ibu bernama Sarie Febriane, yang katanya seorang wartawati, menceritakan pengalaman buruk yang dialaminya ketika ada konvoi moge ke milis-milis. Padahal kesombongan pengendara moge sudah sering terjadi dan sudah memakan banyak korban pula.

Tetapi, kalau mau jujur, sebenarnya pengendara kendaraan bermotor di Indonesia itu banyak juga yang sama sombongnya dengan pengendara moge. Coba lihat di jalan-jalan ketika waktu puncaknya macet, kalau saja pejalan kaki tidak hati-hati dan mengalah jalan di trotoar (yang jelas-jelas disediakan untuk pejalan kaki) mungkin mereka akan disambar oleh para pengendara sepeda motor yang dengan sombong dan tanpa punya “kemaluan” menggunakan trotoar untuk menghindari kemacetan.

Lihat juga di zebra cross yang tidak dilengkapi dengan lampu lalu-lintas, atau bahkan yang dilengkapi dengan lampu lalu-lintas, mentang-mentang di peraturan lalu-lintas ada aturan yang menyatakan bahwa yang belok kiri boleh langsung jalan, pengendara kendaraan bermotor yang di persimpangan mengambil belok kiri jarang ada yang mau memberi kesempatan kepada penyeberang jalan untuk lebih dahulu menyeberang. Boro-boro memberikan kesempatan, memelankan sedikit laju kendaraannya pun tidak. Bahkan kalau ada penyeberang yang nekat menyeberang, makian “anjing” dan sejenisnya pun akan langsung keluar dari mulut pengendara tanpa “kemaluan” itu (dengan efek “ludah yang muncrat”). Belum lagi urusan membunyikan klakson, asap knalpot yang membuat polusi dan sesak napas, parkir sembarangan di trotoar, kebut-kebutan, dll.

Orang kita memang masih banyak yang suka aneh-aneh, baik pejabat maupun rakyatnya. Masih ada yang suka memandang kasta dalam berbuat baik, dan tak sedikit pula yang suka bertingkah arogan dan tidak disiplin. Mudah-mudahan saja saya dan seluruh keturunan saya kelak selalu dijauhkan dari sifat jelek seperti itu. Amin!

Read Full Post »

Susahnya bikin program

Saat ini saya sedang sibuk berkonsentrasi dengan program model asimilasi pasang surut. Semakin hari, jumlah baris program -yang saya tulis dengan bahasa Fortran- semakin panjang saja. Kesalahan terus ditemukan di sana sini, ada kesalahan rumus, inkonsistensi penggunaan variabel tertentu, dan yang lebih bikin pusing adalah penerapan syarat batas. Setiap kali berdiskusi dengan Profesor pembimbing, selalu ditemukan kesalahan-kesalahan tersebut. Apalagi Profesor saya ini punya jam terbang yang sudah puluhan tahun dalam pemodelan oseanografi. Beliau membuat sendiri model pasang surut global dengan jumlah baris program puluhan ribu yang jika dicetak mungkin akan sama tebalnya dengan text book. Beliau selalu teliti memeriksa baris per baris program saya, dan kadang banyak menanyakan hal-hal yang mungkin tak terpikirkan oleh saya.

Saya sendiri selama ini bukanlah seorang modeller, hanya sebatas user yang banyak menggunakan model-model numerik yang sudah ada (baik yang gratis maupun yang komersial). Saya belum pernah membangun program atau model dari awal -dari serangkaian rumus matematika, lalu mulai uji coba kasus 1-dimensi (1-D) sederhana, hingga kondisi nyata 2-D atau bahkan 3-D-. Pernah juga memang membuat model sendiri, tetapi itu hanya sebatas pada tugas praktikum selama masa kuliah dahulu, dan biasanya bisa dikerjakan secara berkelompok atau memodifikasi dari contoh-contoh program yang dibuat oleh kakak-kakak angkatan sebelumnya.

Selama bekerja sebagai peneliti di BPPT Jakarta (sejak 1996) atau untuk penelitian S-2 saya (2000-2002 yang baru lalu), saya lebih banyak berkutat pada pekerjaan data processing dengan menggunakan Matlab. Sementara itu, selama kuliah dahulu, bahasa pemrograman yang saya gunakan adalah Turbo Pascal.

Dalam penelitian S-3 saya ini, sebenarnya saya bisa saja tetap menggunakan Matlab untuk membangun model asimilasi pasang surut, sayangnya ada kendala pada masalah memori dan CPU time. Saya memerlukan memori lebih dari 20GB untuk menjalankan model saya, dan waktu yang jika bisa harus sesingkat mungkin. Hal ini tidak mungkin dilakukan jika saya tetap menggunakan Matlab, apalagi dengan menjalankannya di Personal Computer (PC). Untuk itu, saya harus beralih ke bahasa pemrograman Fortran atau C++ dan menjalankannya di super komputer yang ada di Deutsches Klimarechenzentrum (DKRZ).

Akhirnya saya memilih untuk menggunakan Fortran karena setidaknya saya pernah punya pengalaman dengan bahasa pemrograman ini meskipun hanya pada level pemula. Baris demi baris program mulai saya bangun -dari rumus matematika yang ada- mulai dari kasus 1-D sederhana dan linear, lalu meningkat pada ujicoba 1-D non-linear, kemudian 2-D linear dan terakhir 2-D non-linear -semua masih pada kasus kanal sederhana-. Setelah yakin akan hasilnya, barulah saya terapkan model yang ada pada kasus 2-D kondisi sebenarnya, yaitu Laut Irlandia dan Seltik (antara Inggris dan Irlandia).

Model yang saya bangun ini adalah model yang baru sama sekali dan belum pernah diterapkan untuk kondisi sesungguhnya. Sejauh ini Profesor saya pernah membuatnya beberapa tahun yang lalu tetapi untuk kondisi yang sangat ideal dan hanya kasus 1-D saja. Pendahulu saya, mahasiswa S-3 dari Jepang, telah pula mengerjakan untuk lokasi yang sama tetapi hanya untuk kasus overtide dan dengan metode yang berbeda dengan yang diinginkan oleh Profesor saya ini, itupun sudah membuat saya pusing 7 keliling mempelajari programnya. Profesor saya ini ingin mencoba menerapkan metodenya pada model asimilasi pasang surut 2-D non-linear untuk overtide dan compound tide.

Ketika pertama kali saya ke Hamburg tahun 2003 -setelah dinyatakan diterima sebagai mahasiswa S-3- saya masih bingung dengan apa itu overtide dan compound tide. Pasang surut yang saya ketahui sejauh ini ternyata tidak ada apa-apanya. Ditambah lagi, saya harus belajar tentang apa itu asimilasi data, bagaimana mencari solusi dari persamaan-persamaan yang ada dengan metode iteratif, bagaimana menangani matriks yang ukurannya sangat besar (jutaan baris x jutaan kolom) tetapi dengan densitas yang sangat jarang (sparse matrix), dst. dsb.

Sedikit penjelasan tentang apa itu overtide dan compound tide. Jika komponen pasang surut yang saya tinjau sebagai gaya pembangkit pasang surut laut adalah M2, maka yang dimaksud komponen overtide adalah M2 itu sendiri, M4 (dengan frekuensi sudut 2 kali frekuensi sudut M2), M6 (dengan frekuensi sudut 3 kali frekuensi sudut M2), M8 (dengan frekuensi sudut 4 kali frekuensi sudut M2), dst. -yaitu kelipatan dari komponen M2-. Sementara itu, jika gaya pembangkitnya adalah M2 dan S2, maka yang dimaksud dengan compound tide adalah komponen-komponen pasut yang merupakan hasil interaksi antara M2 dan S2 seperti MS4 (M2+S2, dengan frekuensi sudut yang merupakan penjumlahan dari frekuensi sudut M2 ditambah frekuensi sudut S2), 2SM2 (2*S2-M2, dengan frekuensi sudut 2 kali frekuensi sudut S2 dikurangi rekuensi sudut M2), dst.

Wah, koq jadi njelimet begini ya postingannya? Sudah dulu deh kalau begitu, mau melototin program lagi, besok harus diskusi lagi soalnya sehabis shalat Jumat.

Read Full Post »

Hilangnya teleporter seri G-10

Hari ini, 21 Februari 2500, kota Bandung gempar, teleporter sampah seri G-10 dari proyek rahasia dengan kode “Garbage-X” hilang dari Laboratorium Pusat Penelitian Sampah Masyarakat (PPSM) di Jalan Tamansari No.X-5. Teleporter seri G-10 ini rencananya akan didemonstrasikan kecanggihannya hari ini secara langsung oleh Ibu Menteri Pengembangan Teknologi Maju Republik Indonesia Prof. Dr. Risetitu Indah.Teleporter seri G-10 ini merupakan teleporter terbaru yang berhasil diciptakan oleh PPSM untuk memindahkan sampah dari Tempat Penampungan Akhir (TPA) di Bumi ke Matahari. Sejauh ini, teknologi teleporter yang ada hanya sanggup membuang sampah hingga ke Bulan (Teleporter seri B-29). Bulan sendiri saat ini ,berdasarkan hasil penelitian Pusat Penelitian Tata Surya Kita (PPTSK), telah penuh oleh sampah dari Bumi dan sudah berada pada titik kritis yang dibolehkan untuk menampung sampah yang setiap harinya mencapai ratusan juta ton banyaknya. Jika penduduk Bumi terus membuang sampah ke Bulan, dikhawatirkan dalam 20 tahun ke depan pertambahan massa Bulan akan memperbesar gaya tarik Bulan terhadap Bumi. Jika hal ini terjadi, maka pasang surut laut yang terjadi akan semakin tinggi dan dapat membangkitkan gelombang pasang raksasa yang dapat membahayakan makhluk hidup penghuni Bumi.

Sejauh ini, pihak PPSM sebagai satu-satunya lembaga penelitian di dunia yang telah menemukan teleporter sampah terus melakukan penelitian yang intensif untuk mengembangkan kemampuan teleporter yang sudah ada. Ambisi mereka saat ini adalah ingin mengembangkan teleporter sampah yang mampu mentransfer sampah ke Matahari. Dengan membuang sampah secara langsung ke Matahari, dimana temperatur Matahari yang mencapai 6000 derajat Celcius adalah tempat yang ideal untuk pembakaran sampah secara efisien, maka penduduk Bumi tidak perlu lagi pusing dengan urusan sampah yang ada, baik itu sampah domestik, sampah industri, maupun sampah masyarakat.

Penelitian terhadap teleporter seri G selama ini masih terkendala oleh besarnya energi listrik yang diperlukan untuk dapat mentansfer sampah ke Matahari karena jarak Matahari yang sangat jauh dari Bumi. Awalnya, untuk mengatasi masalah ini, seorang peneliti senior dari Departemen Teknik Lingkungan Bersih dan Indah, Institut Teknologi Bersemangat Baja (ITBB) bernama Prof. Dr. Mariki Tamandi mengusulkan untuk menempatkan teleporter pembantu di setiap planet di tata surya kita yang letaknya dekat dengan Matahari. Usul ini sebenarnya cukup baik, hanya saja tidak cukup efisien dari sisi anggaran karena akan membengkakkan jumlah pengeluaran sebesar 68 kali lipat dari yang ada saat ini.

Untung saja, Prof. Dr. Tem Phat Sam Phah, pimpinan proyek rahasia Garbage-X pada akhirnya dapat menemukan sebuah metode baru yang mampu memperkecil jumlah energi listrik yang dibutuhkan oleh teleporter seri G hingga 68%. Metode ini oleh beliau diberi nama Teknologi Hemat Bermanfaat (THB).

Penemuan Teleporter sendiri merupakan hal yang sangat menggiurkan bagi negara-negara lain di Bumi mengingat bahwa teknologi ini saat ini hanya dikuasai oleh PPSM saja. Perusahaan PT. Buanglah Sampah Pada Tempatnya (PT. BSPT) yang berada di bawah kendali PPSM adalah satu-satunya pengelola bisnis pembuangan sampah antar benua yang memiliki cabang di semua negara di Bumi ini. Perserikatan Bangsa-Bangsa di Dunia (PBBdD) telah memberikan hak monopoli ekslusif kepada PT. BSPT untuk mengelola sampah dunia. Hal ini tentu saja membuat iri negara-negara lain karena besarnya uang yang bisa dikeruk dari bisnis sampah antar benua ini apalagi setiap hari produksi sampah di Bumi terus meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah manusia dengan pola hidup yang semakin konsumtif.

Kembali ke berita hilangnya Teleporter G-10, Direktorat Pencurian Teknologi Maju (Curtekju), Kepolisian Republik Indonesia menduga bahwa pencurian tersebut kemungkinan besar melibatkan orang dalam PPSM atau Kementrian Pengembangan Teknologi Maju (KPTM). Dugaan ini didasarkan pada kenyataan yang ada bahwa sejauh ini proyek Garbage-X adalah proyek sangat rahasia yang tidak diketahui oleh siapapun kecuali para petinggi di PPSM dan KPTM.

**Bersambung**

Read Full Post »

Older Posts »