Feeds:
Pos
Komentar

Archive for Maret, 2007

Penduduk di Indonesia tentu sudah familiar dengan istilah “blackout” karena kalau tidak salah PLN sering menerapkan sistem pemadaman bergilir bagi pelanggannya akibat adanya “krisis” energi di Indonesia.

Barusan saya membaca berita di BBC NEWS, di Sydney ternyata ada juga kegiatan “blackout”, pemadaman lampu-lampu di perkantoran, perumahan, Opera House dan Harbour Bridge. Hanya saja pemadaman ini bukan karena Australia mengalami krisis energi, tetapi dalam rangka meningkatkan keperdulian masyarakat akan pemanasan global.

Bagus juga idenya untuk diadopsi oleh PLN atau Indonesia. Sekarang ini kalau pemadaman bergilir itu dilakukan dengan alasan krisis energi, dari sudut pandang ilmu pemasaran tentu akan menurunkan citra perusahaan (PLN). Dari tinjauan politis juga akan menurunkan citra Indonesia di mata negara lain kan? Nah, kenapa tidak kita manfaatkan saja isu yang sedang hangat tentang pemanasan global ini untuk menggantikan alasan krisis energi tersebut. Jelas lebih keren dan lebih dapat diterima oleh para pelanggan kan? Selain itu, pesan tentang adanya pemanasan global akan sampai dengan lebih efektif ke masyarakat.

Dalam cerita dongeng ini sama dengan istilah “sekali tepuk, tujuh lalat mati seketika”, atau sama dengan peribahasa “sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui”. Kata orang bijak: “mengelola kelemahan menjadi sesuatu yang bernilai positif”. Yang pasti citra PLN dan pemerintah Indonesia akan menjadi lebih baik di mata dunia karena dianggap perduli dengan permasalahan lingkungan yang sedang hangat dibicarakan oleh hampir seluruh manusia di planet Bumi ini. Betul nggak? Kalau perlu gandeng juga Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) ternama dalam “program” ini…

Read Full Post »

Beberapa pekan yang lalu, negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa telah sepakat untuk mengurangi emisi gas CO2 dengan target yang cukup ambisius yaitu pengurangan emisi sebesar 20% hingga 2020. Bahkan Inggris berencana untuk mengurangi emisi CO2-nya sebesar 60% hingga 2050.

Isu pemanasan global memang sedang hangat dibahas di Eropa, apalagi dengan adanya fenomena musim dingin yang hangat di tahun 2006-2007 ini dan semakin banyaknya fenomena “penyimpangan” cuaca seperti badai dan angin ribut yang secara ekonomi sangat merugikan. Juga dengan semakin banyaknya data yang menunjukkan penambahan laju mencairnya es di kutub utara. Dan semua itu, menurut sebagian besar pakar, terjadi karena meningkatnya kandungan gas rumah kaca dari hasil kegiatan manusia (antropogenik), maka dari itu wajar saja kalau apa yang dibicarakan oleh para pemimpin dunia saat ini adalah menurunkan emisi gas rumah kaca tersebut.

Tahun 2006 sendiri oleh WMO ditetapkan sebagai tahun terpanas ke-6, dimana temperatur permukaan rata-rata global tahun 2006 lebih hangat 0.42°C dari harga rata-rata tahunan pada periode 1961-1990. Bahkan menurut NOAA, tahun 2006 tercatat sebagai tahun terpanas di Amerika, dimana berdasarkan data harga rata-ratanya, tahun 2006 1,2°C lebih hangat daripada rata-rata temperatur di abad ke-20 dan 0,04°C lebih panas daripada tahun 1998. Bahkan menurut laporan WMO, jika harga rata-rata suhu permukaan dipisahkan antara Bumi belahan utara (BBU) dan selatan (BBS), maka kenaikan suhu permukaan di BBU jauh lebih tinggi daripada BBS. Di BBU harga temperatur permukaan rata-rata 0,58°C di atas harga rata-rata 30 tahun yang besarnya 14,6°C (terpanas ke-4 sejak tahun 1861) sementara di BBS 0,26°C di atas harga rata-rata 30 tahun yang besarnya 13,4°C (terpanas ke-7 sejak tahun 1861).

Sejauh ini sebenarnya masih terjadi pro dan kontra tentang pemanasan global ini (dan juga penyebab utamanya), karena selain mereka yang marak menyuarakan terjadinya pemanasan global dengan (salah satu) indikator naiknya suhu permukaan Bumi, ada juga sebagian ahli yang masih menyangsikan data naiknya suhu permukaan yang dikemukakan oleh mereka yang pro tersebut. Selain itu, faktor utama penyebab pemanasan global pun masih jadi perdebatan dan diskusi yang hangat hingga akhir ini.

Salah satu dari mereka (para ahli) yang masih menyangsikan adanya pemanasan global adalah Prof. Bjarne Andresen dari Universitas Kopenhagen. Beliau menganggap bahwa isu pemanasan global lebih kental unsur politisnya daripada ilmiahnya. Hal ini dikemukakannya tentu bukan tanpa argumentasi yang jelas. Beliau yang bekerjasama dengan Prof. Christopher Essex dari Universitas Ontario Barat dan Prof. Ross McKitrick dari Universitas Guelph, keduanya di Ontario Kanada telah mencoba menganalisis topik tentang pemanasan global ini dan telah mereka publikasikan dalam Jurnal Non-Equilibrium Thermodynamics.

Pernyataan tentang terjadinya pemanasan global yang diberikan oleh para pakar yang pro didasarkan pada asumsi umum atmosfer Bumi dan lautan menjadi hangat dalam 50 tahun terakhir yang terjadi akibat kecenderungan (trend) naiknya suhu global yang merupakan hasil dari perhitungan njelimet dan perata-rataan suhu udara yang diukur di seluruh dunia. Menurut Prof. Andresen yang pakar termodnamika, adalah tidak mungkin berbicara tentang suhu sendirian pada sesuatu yang rumit seperti iklim di Bumi. Suhu hanya bisa ditentukan pada sebuah sistem yang homogen. Lebih dari itu, iklim tidak dibentuk oleh suhu sendirian. Perbedaan suhu akan menyebabkan terjadinya sebuah proses dan menghasilkan badai, arus laut dan lain-lain yang membentuk iklim. Menurut beliau metode yang sekarang digunakan untuk menentukan suhu global dan kesimpulan yang diambil dari metode tersebut lebih bersifat politis daripada ilmiah.

Selain ketiga profesor tersebut, masih ada juga pakar lain yang punya pendapat menarik, terutama berkaitan dengan faktor penyebab utama perubahan iklim (climate change) di Bumi ini. Lagi-lagi pakar yang punya pendapat menarik ini ternyata berasal dari Denmark juga, yaitu Henrik Svensmark and Eigil Friis-Christensen. Menurut mereka, faktor utama yang kemungkinan besar menjadi penyebab utama dari perubahan iklim di Bumi adalah sinar kosmik, dan bukan gas rumah kaca.

Sekitar sepuluh tahun yang lalu mereka berhipotesa bahwa sinar kosmik dari angkasa mempengaruhi iklim di Bumi dengan cara mempengaruhi pembentukan awan di atmosfer bagian bawah. Hipotesa ini didasarkan pada adanya korelasi yang kuat antara tingkat radiasi kosmik dan penutupan awan dimana semakin besar radiasi kosmik semakin besar pula penutupan awan. Awan mendinginkan iklim di Bumi karena ia memantulkan kembali sekitar 20% radiasi Matahari ke angkasa.

Menurut mereka, selama abad ke-20 pemasukan (influx) cahaya kosmik berkurang akibat berlipatgandanya medan magnetik Matahari yang memperisai (menghalangi) Bumi dari sinar kosmik. Berdasarkan pada hipotesa di atas, sedikitnya radiasi kosmik berarti sedikit pulalah terjadinya pembentukan awan di atmosfer Bumi. Akibatnya, suhu di Bumi menjadi hangat, seperti yang terjadi sekarang ini.

Untuk yang tertarik dengan pendapat yang kontra (atau yang mengkritisi) apa yang disampaikan oleh Intergovernmental  Panel on Climate Change (IPCC) dan film An Inconvenienth Truth, silahkan menonton The Great Global Warming Swindle.

bahan bacaan:
– ScienceDaily: “Danish scientist: Global warming is a myth”
– Competitive Enterprise Institute: “Blunting the greenhouse panic”
NOAA Magazine
WMO Press Release No. 768
– BBC News: “Binding carbon targets proposed”

Read Full Post »

Saya tertawa geli sendiri membaca berita dengan judul “Dianggap bela menteri Hamid, kader Golkar kecam Jusuf Kalla”. Beritanya sih tidak lucu, tapi komentar kader Golkar di bagian akhir berita itu yang bikin ketawa:

Akil maklum jika Jusuf Kalla bisa mengeluarkan pernyataan tersebut. “Dia tidak paham hukum. Dia ekonom.” ujar Akil.

hahaha…

Read Full Post »

Older Posts »