Feeds:
Pos
Komentar

Archive for Mei, 2006

Sehubungan dengan peringatan Hari Tanpa Tembakau Sedunia 2006 yang jatuh pada tanggal 31 Mei 2006, maka kami, penulis blog yang peduli dengan masalah ini, bermaksud untuk memperingatkan kita semua akan bahaya tembakau:

  1. Memperingatkan kita semua bahwa tembakau BERBAHAYA DALAM BENTUK APAPUN. Rokok, rokok pipa, bidi, kretek, rokok beraroma cengkeh, snus, snuff, rokok tanpa asap, cerutu, semua berbahaya.
  2. Memperingatkan kita semua bahwa tembakau dalam jenis, nama dan rasa apapun sama bahayanya. Tembakau BERBAHAYA DALAM SAMARAN APAPUN. Mild, light, low tar, full flavor, fruit flavored, chocolate flavored, natural, additive-free, organic cigarette, PREPS (Potentially Reduced-Exposure Products), harm-reduced, semua berbahaya. Label-label tersebut TIDAK menunjukkan bahwa produk-produk yang dimaksud lebih aman dibandingkan produk lain tanpa label-label tersebut.
  3. Menuntut Pemerintah Republik Indonesia untuk sesegera mungkin meratifikasi WHO Framework Convention on Tobacco Control (WHO FCTC) demi kesehatan penerus bangsa. Indonesia adalah satu-satunya negara di Asia yang belum menandatangani perjanjian Internasional ini.

Internet, 31 Mei 2006

Tertanda,

agusset

Read Full Post »

Pagi dini hari, pukul 04:00 waktu Hamburg (atau pukul 09:00 waktu Yogya), seorang kawan dari Yogya mengirim SMS ke handphone (HP) istri saya. Pesannya: "ada gempa di Yogya, ada isu air masuk ke kota, tolong carikan info di internet". Kami yang terbangun karena SMS itu pun mencoba memahami pesan itu. Yang ada di otak kami saat itu adalah gempa vulkanik akibat aktivitas Gunung Merapi. Kalau memang itu yang dimaksud, tentu jauh kemungkinannya untuk terjadi air masuk ke kota alias tsunami karena Gunung Merapi tidak berada di dalam laut seperti Gunung Krakatau.

Setelah kami sedikit berdiskusi di antara sadar dan masih ngantuk, istri saya akhirnya membalas SMS itu dengan anjuran agar kawan kami itu mengungsi ke tempat pengungsian yang ada. Ternyata SMS balasan dari istri saya itu tidak bisa terkirim ke nomor HP kawan kami itu. Hal ini menjadikan istri saya penasaran dan tidak bisa tidur. SMS pun kembali dikirimkan untuk memastikan bahwa semua baik-baik saja, dan kemudian dia menyalakan komputer untuk melihat berita di detik.com. Ternyata memang ada berita tentang gempa, dan di luar dugaan kami yang selama ini berkonsentrasi dan selalu mengikuti berita aktifnya Gunung Merapi, gempa yang dimaksudkan kawan kami itu ternyata gempa tektonik dengan pusat gempa berada di pantai selatan Jawa selatan-barat daya Yogyakarta dengan jarak sekitar 20 km dari Yogyakarta (lihat gambar di atas, sumber: USGS). Pantas saja ia bertanya tentang kemungkinan adanya "air masuk ke kota", karena informasi (desas-desus) awal yang beredar sumber gempa ada di pantai selatan Jawa.

Kembali ke masalah SMS, balasan SMS yang dikirim oleh istri saya ke kawannya di Yogya itu ternyata baru diterima di sana setengah jam kemudian, mungkin karena padatnya komunikasi pada saat itu. Istri saya pun tak lupa untuk menelepon mertuanya (berarti orang tua saya ya?) yang tinggal di Kebasen, sebuah desa di pinggiran Sungai Serayu, berseberangan dengan Rawalo, yang berjarak sekitar 30 km dari kota Purwokerto (betul nggak ya jaraknya?). Ternyata getaran gempa juga dirasakan cukup kuat di sana, penduduk pun sempat pergi ke luar rumah untuk menghindari dari kemungkinan runtuhnya rumah.

Sedikit informasi, seingat saya sejak kecil dulu kita memang diajari secara turun temurun untuk pergi ke luar rumah jika terjadi gempa. Biasanya jika terjadi gempa yang cukup kuat, ada suara yang khas dari langit-langit (rangken) yang terbuat dari bambu dan/atau atap seng yang saling bergesekan. Dan biasanya, jika mendengar suara itu, kami pun secara reflek akan berlari ke luar rumah dengan berteiak "lindu, lindu". Orang-orang dewasa bahkan secara reflek akan membunyikan kenthongan dengan irama "thithir" (dipukul secara terus menerus dengan cepat) untuk memberikan peringatan kepada warga lainnya yang mungkin belum sadar bahwa sedang terjadi gempa. Dan biasanya, hampir di setiap rumah, tersedia alat yang bernama kenthongan ini yang ditaruh di tempat-tempat yang mudah diraih dalam keadaan darurat dan panik. Umumnya, kenthongan ini digunakan pada kondisi-kondisi darurat seperti ketika ada pencurian, kematian, kebakaran, gempa bumi, banjir, dan lain-lain. Sistem peringatan dini tradisional warisan nenek moyang yang cukup brilian menurut saya.

Kembali ke masalah gempa Yogya, ternyata jumlah korban meninggal cukup banyak, lebih dari 4000 orang (informasi terakhir: lebih dari 5000-an orang meninggal dunia, saya turut berduka cita yang sangat mendalam). Gempa dengan kekuatan 6,3 skala Richter (kategori kuat) dengan pusat gempa berada pada kedalaman 35 km pada posisi 7,977°LS, 110,318°BT yang terjadi hari Sabtu, 27 Mei 2006 pukul 05:54 dini hari (sumber: USGS) ternyata cukup mengejutkan. Saat ini, seperti halnya saya, kebanyakan orang konsentrasinya lebih tercurah kepada gempa vulkanik Gunung Merapi yang kalau saya tidak salah masih pada status "AWAS Merapi". Tidak diduga, ternyata gempa tektonik yang katanya terjadi akibat bertumbukannya lempeng Australia dan Eurasia malah membuyarkan segala langkah mitigasi yang sudah disiapkan begitu matang dan baik dalam menghadapi "batuknya" Merapi.

Manusia boleh berencana, Tuhan jua yang menentukan segalanya! Mungkin ini bisa jadi pengalaman berharga buat kita semua. Indonesia memang berada pada zona lempeng tektonik yang aktif bergerak. Periodisitas gempa tektonik yang cukup lama (dalam orde puluhan bahkan ratusan tahun) kadang memang membuat kita lalai atau menganggap informasi mengenai kegempaan sebagai sesuatu yang tidak atau kurang diperlukan. Padahal, sekali gempa terjadi, ratusan bahkan ribuan jiwa bisa melayang seketika, ratusan bahkan ribuan bangunan bisa musnah seketika, dengan kerugian yang sangat besar, yang menyisakan kepedihan dan tetesan air mata. Seperti halnya Jepang, Indonesia memang perlu ahli-ahli gempa yang serius, juga sistem pemantauan dan peringatan dini kegempaan yang ditangani secara serius. Mungkin BMG (Badan Meteorologi dan Geofisika) perlu bekerja lebih serius lagi di bidang ini.

Menurut beberapa literatur, gempa tektonik "sebenarnya" bisa dibuatkan early warning systemnya berdasarkan penjalaran gelombang P yang 2 kali lebih cepat dari gelombang S (sebelum terjadinya getaran/goncangan akibat gempa). Kendalanya, dari pendeteksian gelombang P ini (melalui jaringan sensor yang dipasang), waktu yang ada untuk early warning system hanya dalam orde detik (maksimum ~10 detik, ada juga yang katanya bisa mendeteksi hingga 30-60 detik) sebelum goncangan dahsyat terjadi, jadi ya memang kurang cukup untuk bisa memberikan informasi/warning dan mengevakuasi penduduk ke tempat yang aman, apalagi kalau sedang tidur nyenyak. Tapi mungkin waktu sesingkat itu dapat dimanfaatkan untuk mengambil tindakan darurat pada instalasi-instalasi penting dan strategis, atau mungkin untuk perencanaan tindakan pasca gempa. Oh iya, ada satu hal yang mungkin jauh lebih penting daripada early warning system yaitu pemasyarakatan bangunan/rumah tahan gempa, pelatihan mitigasi bencana dan pelatihan-pelatihan lain pasca bencana (supaya bantuan untuk para korban tidak tersendat-sendat misalnya). Malu kan sama Presiden, masa beliau harus turun tangan sendiri untuk hal-hal yang mungkin bisa dikerjakan oleh Gubernur dan anak buahnya itu. Katanya otonomi daerah… 🙂

Informasi terkait gempa Yogya:

Read Full Post »

Salah satu yang saya suka dari ruang kerja orang-orang di Hamburg (atau malah mungkin di Jerman) adalah adanya tanaman dalam pot di hampir setiap ruang kerja mereka. Dan yang membuat saya lebih "kagum" lagi, tanaman itu diadakan sendiri oleh mereka, milik mereka sendiri dan, lebih dari itu, juga dirawat sendiri oleh mereka. Setidaknya itu yang saya tahu dari ruang kerja yang ada di lingkungan IfM, tempat saya kerja doktoran selama ini, dan juga beberapa ruang kerja di tempat lain yang pernah saya masuki karena suatu urusan.

Bahkan ruang kerja seorang profesor ada yang benar-benar hijau dan rimbun seperti dalam "hutan" karena dipenuhi oleh pot-pot dengan tanaman yang terawat baik yang diletakkan di jendela maupun di bagian-bagian tertentu di ruangannya. Di ruangan profesor pembimbing saya pun saya lihat ada beberapa tanaman dalam pot yang beliau rawat sendiri. Salah satu yang membuat ruangan itu menjadi unik adalah adanya alat penyiram tanaman (embor?) yang ditaruh di samping pot tanamannya. Beliau selalu menyempatkan diti untuk ke kamar mandi atau dapur mengambil air dengan alat itu untuk menyiram tanamannya. Jika kebetulan sedang mengambil cuti musim panas dalam waktu yang agak lama, biasanya beliau akan menitipkan tanamannya tersebut ke mahasiswa atau kolega di ruang sebelahnya dan meminta tolong mereka untuk merawat tanaman tersebut selama beliau liburan.

Di ruang kerja saya, yang dipakai berdua dengan seorang mahasiswa S3 dari Jerman, juga ada pot tanamannya. Teman seruangan saya yang memiliki dan memelihara tanaman itu. Sementara itu saya sendiri lebih memilih untuk memelihara tanaman di rumah saja, karena suka angin-anginan kalau pergi ke tempat kerja (Biasanya saya lebih memilih bekerja dari rumah. Pergi ke tempat kerja saya lakukan kalau sedang ada jadwal diskusi dengan profesor saja atau kalau tidak sedang terserang penyakit malas).

Ada beberapa jenis tanaman yang saya taruh di ruang tamu rumah kami yaitu 3 mini kaktus, 2 pohon seperti batang bambu kecil yang ditaruh dalam pot yang berisi air, satu pohon seperti pohon beringin (katanya namanya Weeping fig atau Ficus benjamina bahasa Latinnya) peninggalan dari penghuni sebelumnya, dan 3 pot tanaman bunga yang saya tidak tahu apa namanya yang juga merupakan peninggalan penghuni rumah sebelumnya. Jika sedang musim panas dengan kondisi yang sangat cerah dan kering, pohon-pohon ini (kecuali mini kaktus) perlu disirami minimal setiap 2 hari sekali. Tetapi, jika cuaca sedang mendung atau musim dingin, maka penyiraman seminggu sekali sudah lebih dari cukup buat mereka.

Memelihara tanaman dalam ruangan sepertinya memang cukup mengasyikkan… 😀

Read Full Post »

Older Posts »