Feeds:
Pos
Komentar

Archive for April, 2007

Hukum Rimba

Saya kurang tahu kenapa suatu kondisi yang buruk, dimana tidak ada keadilan atau keadilan susah dicari, orang selalu mengaitkannya dengan hukum rimba. Apakah memang hukum rimba seburuk itu?

Kalau menurut saya, hukum rimba justru menunjukkan adanya sebuah konsistensi dari para penghuni rimba untuk patuh dan taat menjalankan hukum di rimba tempat mereka hidup sesuai dengan yang telah ditetapkan dan digariskan oleh sang pencipta mereka. Artinya, hukum rimba itu sebetulnya tidak jelek, justru di dalam hukum rimba itu kita akan dapat temukan adanya konsep keadilan, keseimbangan dan keberlanjutan. Kurang percaya? Nah sekarang mari kita coba kupas beberapa aspek yang ada dalam hukum rimba itu secara agak mendetail.

Dalam menggapai posisinya menjadi seekor pemimpin, binatang seperti singa jantan harus bertarung secara jantan untuk memperebutkan posisi tersebut dengan kekuatan sendiri. Lebih dari itu, yang kalah dalam memperebutkan posisi bergengsi tersebut pun mau legowo untuk menerima kekalahan mereka. Begitu pun ketika suksesi harus terjadi, pemimpin generasi tua pun rela bersaing secara fair dengan generasi muda calon penerus mereka. Dan kalaupun si generasi tua kalah untuk mengekalkan kepemimpinannya seumur hidup, dia tak perlu mengandalkan keseniorannya untuk mendikte sang pemimpin muda.

Satu yang dianggap kejam (oleh manusia) dalam hukum rimba adalah kegiatan mangsa-memangsa, dimana yang kuat memangsa yang lemah. Nyatanya, apa yang terjadi di rimba mungkin tidak sekejam yang kita bayangkan. Kegiatan mangsa-memangsa memang terjadi, tetapi dalam “porsi” yang seimbang dan tidak ada keserakahan di dalamnya. Kegiatan mangsa-memangsa terjadi salah satunya justru untuk menjaga populasi para penghuni rimba agar tetap seimbang; tidak ada populasi hewan tertentu yang berlebihan di satu sisi dan hewan yang terancam populasinya di sisi lain. Hewan yang menjadi mangsa pun biasanya diberi kelebihan oleh pencipta mereka untuk bisa beranak-pinak secara cepat, juga kemampuan untuk mempertahankan diri dari kejaran para pemangsa mereka. Artinya, hewan pemangsa pun harus punya kemampuan dan usaha yang keras jika ingin bisa mendapatkan hewan buruannya untuk dimangsa. Selain dari itu, hewan pemangsa pun punya sifat tidak serakah, artinya ketika kebutuhan perut sudah terpenuhi (alias sudah kenyang), mereka tidak akan kemaruk menimbun makanan, walaupun hewan yang biasa dimangsanya itu lewat di depan mata. Mereka tidak akan berusaha untuk mengejar binatang yang biasa dimangsanya karena memang sudah tercukupi kebutuhan perut mereka pada saat itu.

Sekarang coba bandingkan dengan ketidakpastian hukum (di Indonesia misalnya), jelas beda jauh kan? Coba lihat kasus korupsi, penggusuran dan penindasan terhadap rakyat miskin, foya-foyanya para pejabat negara, kasus kerusakan lingkungan, kecurangan dalam pemilihan kepala daerah, dll.

Justru malah ketidakpastian hukum yang banyak terjadi di negara kita lah yang mengancam “keadilan” yang ada dalam hukum rimba. Contohnya banyak seperti perburuan liar, pembalakan liar, pembukaan lahan dengan membakar hutan, dll. Ulah manusia seperti itu, yang sampai sekarang susah untuk dijerat secara hukum, justru yang mengakibatkan banyak hewan menjadi langka dan terancam punah. Hukum rimba justru malah terancam oleh ketidakpastian hukum manusia.

Jadi, jangan analogikan hukum “chaotic” (a la Indonesia misalnya) dengan hukum rimba, karena hukum rimba justru jauh lebih beradab (mohon maaf sebelumnya karena harus mengambil contoh perilaku hukum di Indonesia, karena memang sangat tepat untuk dijadikan contoh). Sepertinya manusia yang suka bermain-main dengan hukum dan senang menciptakan sebuah kondisi dimana hukum menjadi chaotic perlu sekali-kali melakukan studi banding ke para penghuni rimba, atau sering-seringlah menonton acara dunia binatang… biar nyadar kalau ternyata binatang masih jauh lebih baik dari mereka (hahaha…).

Read Full Post »

Bagusnya Diapain ya IPDN?

IPDN, kayaknya memang kurang tepat kalau kata itu merupakan singkatan dari Institut Pemerintahan Dalam Negeri. Lebih tepat mungkin singkatan dari Institut (tempat) Penganiayaan (yang) Dibiayai (oleh) Negara, atau Institut (yang) Penuh Darah (dan taruhannya) Nyawa. Lebih dari itu, ternyata praja yang jadi korban penganiayaan pun akan jadi Camat betulan. Ya, CApek dan akhirnya MATi karena diplonco setiap saat oleh seniornya. Gile bener, lebih sangar dari Lembaga Pemasyarakatan yang isinya para penjahat betulan. Jarang-jarang ada berita narapidana mati disiksa sama seniornya.

Kalau kata teman saya sih, orang-orang di IPDN itu (dari mulai dosen, praja, malah mungkin sampai ke tukang sapunya) sudah hampir salah asuhan semuanya. Untung saja Abdul Moeis (pengarang roman Salah Asuhan) sudah meninggal dunia, kalau belum mungkin beliau akan menulis lanjutan roman tersebut dengan judul Salah Asuhan 2. Malah mungkin sudah dijadikan sinetron segala oleh Raam Punjabi dan diputar di prime time nya salah satu TV swasta. Bisa-bisa malah acara Empat Mata-nya Tukul kalah ngetop. Alasannya? Lha Tukul cuman bisa teriak “tak sobek-sobek mulutmu”, di IPDN mulut bisa disobek-sobek betulan sama praja senior.

SBY katanya menginstruksikan untuk menyetop dulu penerimaan praja baru selama setahun sambil dievaluasi dan di-demiliterisasi kurikulum dan sistemnya. Kalau saya bilang sih, belum tentu efektif. Kalau cuman setahun mah para senior yang sangar itu masih bisa sedikit puasa nggebuk (atau nggebuknya dipelanin dikit, biar yang digebukin nggak sampe mati). Lebih dari itu, para praja di IPDN (baik yang suka mukulin dan yang suka dipukulin) kan sama-sama kompak, akur dan bahu-membahu untuk tutup mulut semuanya kalau ditanyai oleh pihak luar.

Jadi bagusnya diapain coba IPDN itu? Dijadiin biara Shaolin? Wah! jangan-jangan shaolin yang asli aja takut berguru ke situ. Dijadiin Lembaga Pemasyarakatan? “Sorry man! mending gue dikirim ke Nusa Kambangan aja deh!”, jangan-jangan begitu kata calon narapidananya. Terus diapain dong? Dijadiin tempat studi banding anggota DPR dan para Kepala Daerah aja kalau gitu. Biar mereka kapok nggak mau ngajuin studi banding lagi di anggaran tahun depannya… hahaha… Gimana?

*mohon maaf buat praja dan dosen IPDN yang baik hati dan tidak sombong, tulisan ini hanya humor belaka, jadi jangan dimasukkin ke hati ya?*

Read Full Post »

Ini berita hari Senin lalu (1 April) yang saya baca di detik.com dengan judul berita: “Kapolri: Masyarakat Banyak S3, Masa Polisi SMA”. Saya kurang tahu, apakah Kapolri akan berani berkata hal yang sama seandainya Presiden yang berkuasa masih Mbak Mega, karena dari judul beritanya ada kata/istilah yang sangat sensitif untuk beliau dan juga para pendukung setianya.

Seperti kita sama-sama tahu, wacana tentang syarat pendidikan minimum untuk calon Presiden sempat mencuat belum lama ini (biasa, persiapan menghadapi PEMILU), dan saya pun pernah mengomentarinya pada tulisan “Syarat Jadi Presiden, Bill Gate aja DO!” di blog ini. Menyikapi wacana ini, Fraksi PDIP di DPR dengan lantang mengatakan bahwa “Presiden bukan jabatan akademis, tetapi politis” (Republika Online, 21-3-2007). Artinya (menurut interpretasi saya), untuk jadi politikus pendidikan itu tidak penting. Yang penting bisa baca-tulis dan (lebih dari itu) bisa buat janji-janji gombal saat kampanye.

Nah, mungkin para kader PDIP ini perlu juga membaca alasan dari Kapolri, kenapa POLRI sekarang lebih mengutamakan untuk memilih mereka yang lulusan S1 untuk menjadi mahasiswa Akademi Kepolisian (Akpol). Beliau mengatakan bahwa saat ini masyarakat sudah banyak yang berpendidikan S1 (bahkan S3), jadi kalau polisi masih SMA berarti ketinggalan.

Atau mungkin Kapolri yang perlu baca berita “Presiden bukan jabatan akademis, tetapi politis”, supaya beliau tahu bahwa polisi juga bukan jabatan akademis, yang penting bisa baca-tulis, pakai pentungan dan nyemprit…

Read Full Post »

Older Posts »