Saya kurang tahu kenapa suatu kondisi yang buruk, dimana tidak ada keadilan atau keadilan susah dicari, orang selalu mengaitkannya dengan hukum rimba. Apakah memang hukum rimba seburuk itu?
Kalau menurut saya, hukum rimba justru menunjukkan adanya sebuah konsistensi dari para penghuni rimba untuk patuh dan taat menjalankan hukum di rimba tempat mereka hidup sesuai dengan yang telah ditetapkan dan digariskan oleh sang pencipta mereka. Artinya, hukum rimba itu sebetulnya tidak jelek, justru di dalam hukum rimba itu kita akan dapat temukan adanya konsep keadilan, keseimbangan dan keberlanjutan. Kurang percaya? Nah sekarang mari kita coba kupas beberapa aspek yang ada dalam hukum rimba itu secara agak mendetail.
Dalam menggapai posisinya menjadi seekor pemimpin, binatang seperti singa jantan harus bertarung secara jantan untuk memperebutkan posisi tersebut dengan kekuatan sendiri. Lebih dari itu, yang kalah dalam memperebutkan posisi bergengsi tersebut pun mau legowo untuk menerima kekalahan mereka. Begitu pun ketika suksesi harus terjadi, pemimpin generasi tua pun rela bersaing secara fair dengan generasi muda calon penerus mereka. Dan kalaupun si generasi tua kalah untuk mengekalkan kepemimpinannya seumur hidup, dia tak perlu mengandalkan keseniorannya untuk mendikte sang pemimpin muda.
Satu yang dianggap kejam (oleh manusia) dalam hukum rimba adalah kegiatan mangsa-memangsa, dimana yang kuat memangsa yang lemah. Nyatanya, apa yang terjadi di rimba mungkin tidak sekejam yang kita bayangkan. Kegiatan mangsa-memangsa memang terjadi, tetapi dalam “porsi” yang seimbang dan tidak ada keserakahan di dalamnya. Kegiatan mangsa-memangsa terjadi salah satunya justru untuk menjaga populasi para penghuni rimba agar tetap seimbang; tidak ada populasi hewan tertentu yang berlebihan di satu sisi dan hewan yang terancam populasinya di sisi lain. Hewan yang menjadi mangsa pun biasanya diberi kelebihan oleh pencipta mereka untuk bisa beranak-pinak secara cepat, juga kemampuan untuk mempertahankan diri dari kejaran para pemangsa mereka. Artinya, hewan pemangsa pun harus punya kemampuan dan usaha yang keras jika ingin bisa mendapatkan hewan buruannya untuk dimangsa. Selain dari itu, hewan pemangsa pun punya sifat tidak serakah, artinya ketika kebutuhan perut sudah terpenuhi (alias sudah kenyang), mereka tidak akan kemaruk menimbun makanan, walaupun hewan yang biasa dimangsanya itu lewat di depan mata. Mereka tidak akan berusaha untuk mengejar binatang yang biasa dimangsanya karena memang sudah tercukupi kebutuhan perut mereka pada saat itu.
Sekarang coba bandingkan dengan ketidakpastian hukum (di Indonesia misalnya), jelas beda jauh kan? Coba lihat kasus korupsi, penggusuran dan penindasan terhadap rakyat miskin, foya-foyanya para pejabat negara, kasus kerusakan lingkungan, kecurangan dalam pemilihan kepala daerah, dll.
Justru malah ketidakpastian hukum yang banyak terjadi di negara kita lah yang mengancam “keadilan” yang ada dalam hukum rimba. Contohnya banyak seperti perburuan liar, pembalakan liar, pembukaan lahan dengan membakar hutan, dll. Ulah manusia seperti itu, yang sampai sekarang susah untuk dijerat secara hukum, justru yang mengakibatkan banyak hewan menjadi langka dan terancam punah. Hukum rimba justru malah terancam oleh ketidakpastian hukum manusia.
Jadi, jangan analogikan hukum “chaotic” (a la Indonesia misalnya) dengan hukum rimba, karena hukum rimba justru jauh lebih beradab (mohon maaf sebelumnya karena harus mengambil contoh perilaku hukum di Indonesia, karena memang sangat tepat untuk dijadikan contoh). Sepertinya manusia yang suka bermain-main dengan hukum dan senang menciptakan sebuah kondisi dimana hukum menjadi chaotic perlu sekali-kali melakukan studi banding ke para penghuni rimba, atau sering-seringlah menonton acara dunia binatang… biar nyadar kalau ternyata binatang masih jauh lebih baik dari mereka (hahaha…).