Feeds:
Pos
Komentar

Archive for Juni, 2006

Pagi ini baca berita di KCM yang berjudul: “Indonesia Urutan Terendah dalam Riset Kemampuan Fisik dan Bermain Anak”, jadi ingat saat-saat awal anak saya masuk sekolah di Jerman mengikuti kami yang kebetulan dapat kesempatan mengambil S3. Dalam berita itu disebutkan:

Menurut hasil riset Play and Physical Quotient (PQ) atau riset kemampuan fisik dan bermain anak, Indonesia menempati urutan terendah dibandingkan dengan Thailand, Vietnam dan Jepang.

PQ adalah elemen penilaian yang mengukur kemampuan fisik seorang anak dalam melakukan berbagai aktivitas dan permainan, yaitu apakah sesuai dengan kemampuan anak seusianya.

Membaca berita itu, saya jadi ingat pengalaman anak saya ketika pertama kali masuk sekolah di Jerman. Dulu anak saya sempat sekolah SD kelas 1 di Bandung. Pas sekolah di Jerman, harus masuk ke sekolah pra-SD karena umur belum 7 tahun (kurang beberapa bulan). Nah di pra-SD inilah dia termasuk anak yang bingung kalau pas pelajaran bebas (jam pelajaran dimana anak bebas mengerjakan apa saja yg dia mau di kelas). Dia juga sempat bosan karena sekolah di Jerman jauh lebih santai daripada dulu waktu di Bandung, terlalu banyak acara main-mainnya.

Ketika kemudian masuk ke kelas 1 SD, dia juga harus masuk ke kelas bahasa Jerman di jam-jam tertentu bersama anak-anak non-Jerman lainnya. Di situ dia belajar bahasa Jerman melalui permainan dan nyanyian. Setiap hari dia membawa pulang nyanyian Jerman baru. Alhamdulillah, dia termasuk cukup cepat menguasai bahasa barunya itu. Namun demikian, ternyata masalah yang berhubungan dengan kegiatan bermain atau kemampuan fisik masih menjadi hambatan buat dia. Dia selalu pasif jika sudah masuk ke jam pelajaran bebas. Memang, dari awalnya dia sudah punya bakat pemalu, dan itu juga menjadi salah satu kendala dalam dia beradaptasi dengan sekolah dan suasana yang baru ini.

Syukurnya, pihak sekolah memang mempunyai program yang cukup bagus untuk menangani anak-anak seperti anak saya ini. Ada beberapa terapi yang coba diterapkan kepadanya, sampai-sampai dia harus ikut terapi musik segala. Dan akhirnya setelah menjalani program yang diberikan oleh sekolah tersebut, kemampuan bermain dan berpikirnya sudah mulai bisa berimbang. Di setiap acara dimana orang tua bertemu dengan guru yang mengajar untuk membicarakan perkembangan anak, selalu ada kemajuan yang menggembirakan yang diperolehnya. Hal itu juga tertulis dengan lengkap dalam rapornya (rapornya hingga kelas 3 ini masih bukan berupa nilai mata pelajaran seperti di Indonesia, tetapi hanya berupa deskripsi perkembangan anak ditinjau dari berbagai aspek).

Nah masalahnya, tahun depan insya-Allah kami akan balik ke Indonesia, kasihan juga kalau nanti dia harus kembali beradaptasi dengan suasana dan pola belajar-mengajar yg jauh berbeda dengan yang sedang dia rasakan sekarang. Mungkin perlu banyak usaha lagi untuk membantu dia beradaptasi, atau mungkin saya harus mencari sekolah di Bandung yang kurikulumnya agak santai dan tidak terlalu banyak kegiatan yang membuat dia stres. Ya mungkin sekolah seperti di jaman saya dulu… 🙂

Oh iya, ada sedikit tambahan. Hal ini berkaitan dengan pernyataan Kak Seto yang juga dimuat dalam berita itu:

Senada dengan Reni, Kak Seto, pemerhati masalah anak, menyatakan bahwa bermain adalah hak asasi anak. Menurutnya setiap kota seharusnya memiliki taman bermain untuk anak-anak. Jika anak senang dan ada gerakan-gerakan maka kemampuan kognitifnya akan berkembang.

Di Hamburg ini, hampir di setiap tempat kita dapat menemukan taman bermain untuk anak dengan jenis mainan yang cukup bervariasi (bebas, tidak harus bayar, karena itu fasilitas yang diberikan oleh kota). Di sekolah-sekolah juga ada taman bermain seperti itu, seperti dalam film kartun Disney’s Recess, yang judul dalam bahasa Jermannya: Disneys Grosse Pause. Mengenang masalah taman bermain, saya jadi ingat bagaimana dulu tempat bermain di SD anak saya di Bandung malah digunakan untuk tempat parkir mobil/motor dan juga tempat berjualan para pedagang kaki lima (orang dewasa memang sukanya merampas hak dan fasilitas anak).

Memang tidak fair jika kita membandingkan Indonesia dengan Jerman. Tapi, seharusnya kalau secara teori kita tahu bahwa kesempatan bermain akan meningkatkan kemampuan kognitif anak, maka tidak ada salahnya kan kalau kita memperbanyak taman bermain untuk anak? Toh katanya (dalam spanduk-spanduk, iklan-iklan, dan pidato para penyelenggara negara), anak adalah calon generasi penerus kita! Masa yang diperbanyak hanya mall, yang merangsang kita untuk bertingkah laku boros dan konsumtif, atau gedung-gedung seminar yang besar, mewah dan canggih yang digunakan hanya sekedar untuk menyeminarkan masalah anak dan pendidikannya, mana harus bayar lagi kalau mau ikutan seminarnya…

Read Full Post »

Das Duell

Wah, ini dia yang saya tunggu-tunggu, nanti sore (waktu Jerman) Argentina akan bertemu tuan rumah Jerman di perempat final Piala Dunia 2006. Duel seru yang sepertinya ditunggu jutaan penggila bola di dunia.

Kalau menurut saya, Jerman harus kerja keras nih untuk bisa lolos ke babak semi final. Yang menegangkan itu kalau sampai skor akhirnya seri dan harus ada adu finalti. Tapi kalau dalam menit-menit awal Jerman sudah bisa menyarangkan 2 gol seperti waktu lawan Swedia kemarin, saya rasa itu akan cukup melegakan dan membuka peluang Jerman lolos ke babak semi final. Sepertinya, dengan pola permainan agresif dan mendikte seperti yang ditampilkan tim Jerman selama ini, peluang itu cukup ada.

Sebagai pendukung tim Jerman, dag-dig-dug juga saya! Viva Jerman!

Update:

Kemarin nonton Jerman-Argentina di KJRI Hamburg karena kebetulan harus nganterin anak latihan gamelan untuk acara 17-an. Syukurnya, di KJRI ada LCD projector dan digital TV receiver, jadi saya tetap bisa nonton. LCD projector disambungkan ke digital TV receiver dan diarahkan ke layar kain yang biasa digunakan untuk pertunjukkan wayang kulit. Jadilah nonton bola dalam layar super lebar! Kebetulan ada drum nganggur, jadi sambil menonton kita pun menabuh drum seperti para supporter di stadion. Meriah! Sementara itu di ruang aula, suara gamelan dari anak-anak yang berlatih pun terdengar keras, jadinya kita seperti sedang nonton bola di tanah Jawa saja… 🙂

Tegang betul saat peluit awal dibunyikan! Apalagi, emosi pemain pun sempat tinggi di waktu-waktu awal permainan. Mayoritas yang menonton bola bareng di KJRI saat itu adalah para pendukung setia Jerman, dan Jerman tertinggal 0-1 di awal babak kedua lewat gol Ayala. Kami yang menonton, para pendukung Jerman, berdegup keras jantungnya. Anak-anak pun menjadi lesu untuk latihan gamelan! Maklum mereka juga pendukung setia Jerman!

Akhirnya, gol balasan oleh Klose pun menggoyang jaring gawang Argentina di menit ke-80 (betul ya?). Suasana di KJRI pun meriah dengan teriakan histeris! Maklum ibu-ibu dan anak-anak juga ikutan nonton, dan tahu sendiri kalau ibu-ibu dan anak-anak sudah teriak gimana kerasnya. Untung saja kaca di KJRI cukup tebal, anti pecah… hahaha.

Oh iya, suasana di luar pada saat pertandingan itu berlangsung pun sepi luar biasa. Hanya ada sedikit orang yang berlalu lalang, dan bisa dipastikan mereka yang berlalu lalang di jalan pada saat itu adalah mereka yang tidak suka bola 100%. Jalanan sepi, tidak ada suara mesin mobil (hahaha… ini karena kami konsentrasi nonton bola, jadi suara mobil mana mungkin terdengar!). Kereta bawah tanah dan bus kota pun sepi penumpang. Suasana benar-benar “mencekam”.

Oh iya, pada pertandingan itu banyak tempat menyediakan atau mengadakan acara nonton bareng. Salah satunya adalah gedung bioskop yang menarik bayaran 3 Euro per kepala. Tempat nonton bareng di St. Pauli sudah pasti penuh sesak! Jika ingin bisa masuk ke sana, harus sudah berangkat ke lokasi itu selepas pukul 14:00.

Usai pertandingan, yang dimenangkan oleh Jerman, masa ampun! mobil di jalan banyak berseliweran membawa bendera Jerman dan membunyikan klakson tiada hentinya, saling bersahutan. Orang-orang yang menonton di rumah pun keluar dengan membawa bendera, berteriak dan bernyanyi gembira. Stasiun kereta bawah tanah pun mulai dipenuhi oleh para pendukung Jerman dengan segala asesorisnya. Riuh rendah mereka bernyanyi! Seluruh Jerman pun berpesta gembira, kecuali tentunya mereka yang tidak suka bola 100% dan bukan pendukung Jerman!

Read Full Post »

Ujian Negara (UN) digelar, eh hasilnya bikin ribut di mana-mana, malah sampai ke DPR segala. Kata berita, 80% dari anak yang nggak lulus UN dan melapor ke Komnas Perlindungan Anak adalah anak jenius! Ada lagi berita, banyak anak yang harus gigit jari karena terpaksa tidak bisa melanjutkan ke perguruan tinggi yang sudah menerimanya lewat jalur PMDK (Penelusuran Minat dan Kemampuan) -atau ujian masuk perguruan tinggi ya?- karena ternyata UN-nya nggak lulus. Ada yang katanya peserta olimpiade fisika yang juga ternyata nggak lulus UN karena nilainya utk mata pelajaran matematika di bawah standar minimum kelulusan – kawan saya yang suka iseng nyeletuk: “bisa masuk saringan ikut olimpiade fisika, tapi koq nilai matematikanya jeblok ya? ikut olimpiadenya bagian fisika sejarah kali ya?” – (mohon maaf, kawan saya itu memang suka ngomong seenak udelnya sendiri).

Ada lagi kasus yang katanya gurunya ngasih bocoran jawaban ke murid-muridnya. Lucunya, ada yang bocoran jawaban yang dikasih si guru salah semua, jadinya lucu: udah ujiannya nyontek, eh masih nggak lulus juga! Lagi-lagi kawan saya yang suka iseng ini nyeletuk: “jangan-jangan gurunya sendiri nggak lulus kalau suruh ikutan UN!”.

Pak Bambang Sudibyo sebagai Mendiknas pasti pusing tujuh keliling plus deh! apalagi di jaman repormasi seperti sekarang ini, dimana suara rakyat melebihi suara Tuhan! nggak lulus UN kan bisa demo menuntut UN diulang dan ditiadakan supaya lebih gampang lulusnya! Bisa ngadu ke wakil rakyat di DPR sana yang katanya dulu waktu ngasih syarat-syarat untuk nyalonin diri jadi anggota dewan banyak (eh banyak atau ada ya?) yang kena kasus ijasah palsu. Tapi tenang! masih ada Pak Jusuf Kala, Wakil Presiden yang dengan senang hati bersedia menjadi “juru bicara” Mendiknas! Pak Bambang Sudibyo pasti tenang, wong Pak Jusuf Kala itu orangnya tegas dan cuek koq! Apalagi bawahannya di partai kan jadi ketua dewan yang terhormat!

Kalau menurut saya, UN itu sebenarnya normal saja, apalagi hanya 3 mata pelajaran yang diujikan. Logika saya, anak-anak sekolah pasti bisa mengerjakannya dan melewatinya dengan baik dan LULUS atau bisa mendapatkan nilai minimumnya. Beberapa kasus yg terjadi atau muncul akibat adanya UN, seperti guru membuatkan kunci jawabannya atau murid yg tidak lulus padahal sudah diterima di PTN melalui jalur PMDK mengindikasikan bahwa ada sekolah2 yang dalam proses belajar mengajar atau pemberian nilai kurang atau tidak beres. Menyalahkan semuanya pada UN sebenarnya kurang fair juga, karena sekolah, guru, atau murid yang bersangkutan juga punya andil dalam masalah ini. UN justru cukup berjasa mengungkap “borok” dan buruk yg ada di dalam sistem pendidikan kita (wuih, gaya bahasa pejabat nih!). Jadi, buat yang ribut-ribut, jangan sampai anda seperti apa yang dikatakan pepatah para leluhur kita dulu: “buruk muka, cermin dibelah”.

Setidaknya, kasus pasca UN ini mengindikasikan bahwa bukan hanya sekolahnya saja yang seperti kandang ayam, atau gaji gurunya yang hanya cukup buat makan seminggu (itu kata pusinya seorang profesor lho, bukan kata saya), tapi juga banyak masalah lain seperti muridnya yang mungkin hanya banyak ngapalin aja (lha masa matematika koq diapalin?), banyak yang gampang stres, banyak yang nggak bisa nerima kegagalan, banyak yang nggak jujur, dll. Gurunya juga, mungkin harus diperbaiki ketrampilannya dalam mengajar, memotivasi, mendidik, dll. Sekolahnya juga, jangan cuman gayeng pas narikin uang BP3 aja!

Tapi memang, menjadikan UN sebagai satu2nya syarat kelulusan juga kurang tepat saya pikir, terlalu saklek dan kaku. Sistem lama, yg menyerahkan kelulusan kepada sekolah masing2, sepertinya sudah cukup baik dan masih relefan. Kalau ada kasus “mark up” nilai oleh sekolah, ya itu saja yg tinggal dikontrol dan diperbaiki sistemnya oleh sekolah masing2. Gampang toh! Pasti gampang, buktinya jaman dulu yang masih belum secanggih jaman sekarang aja banyak sekolah yang bagus. Lha kalau nggak ada sekolah bagus di jaman dulu, nggak mungkin kan ada yang bisa jadi dosen di ITB, UI, IPB, UGM, dll. Nggak mungkin juga PT. IPTN bisa bikin Tetuko, mendesain dan membuat sendiri N-250, atau mendesain N-2130 yang belum sempat dibikin sudah keburu krismon, padahal Pak Harto sudah sempat minta sumbangan ke rakyat Rp.100 per orang lho! (seratus jaman dulu sama dengan Rp.10.000 jaman sekarang, masih bisa buat beli semangkok bakso tanpa formalin).

Kembali ke masalah UN, nilai UN mungkin lebih baik digunakan utk “saringan” saja. Utk anak yg lulus SMA, nilai UN minimum bisa dijadikan syarat apakah mereka bisa meneruskan ke perguruan tinggi atau tidak. Kalau nilai rerata UN-nya di bawah minimum, mereka hanya bisa masuk ke politekhnik atau sekolah2 tinggi yg siap kerja (melanjutkan ke sekolah2 yg mengajarkan ketrampilan kerja). Begitu juga utk anak2 SMP, kalau nilai rerata UN-nya di bawah minimum, maka mereka hanya bisa meneruskan ke Sekolah Menengah Kejuruan Atas (SMKA) seperti STM di jaman dulu.

Jadi, perlu nggak UN diulang buat yang nggak lulus? Ah! kalau saya bilang sih nggak perlu, tapi kalau mau diulang juga boleh aja, tapi ya harus buat semua yang nggak lulus, jangan cuman buat yang nggak lulus tapi udah diterima di PTN aja. Terus ya terapin aturan, nilai maksimum dalam UN ulangan adalah nilai minimum kelulusan. Jadi cuman perlu buat lulus aja, bukan nyari nilai lagi.

Jadi, perlu nggak UN dibubarin? Wah, ya jangan gitu dong! Itu sama kaya anak saya yang masih berumur 9 tahun: kalau nggak suka sesuatu langsung dibuang, kalau nggak bisa ngerjain sesuatu langsung marah! Lha mereka yang katanya sudah bisa “mikirin negara” kan bukan anak 9 tahun lagi! Masa mau membuktikan kata-katanya Gus Dur: “kaya anak TK aja!”.

Read Full Post »

Older Posts »