Pagi ini baca berita di KCM yang berjudul: “Indonesia Urutan Terendah dalam Riset Kemampuan Fisik dan Bermain Anak”, jadi ingat saat-saat awal anak saya masuk sekolah di Jerman mengikuti kami yang kebetulan dapat kesempatan mengambil S3. Dalam berita itu disebutkan:
Menurut hasil riset Play and Physical Quotient (PQ) atau riset kemampuan fisik dan bermain anak, Indonesia menempati urutan terendah dibandingkan dengan Thailand, Vietnam dan Jepang.
PQ adalah elemen penilaian yang mengukur kemampuan fisik seorang anak dalam melakukan berbagai aktivitas dan permainan, yaitu apakah sesuai dengan kemampuan anak seusianya.
Membaca berita itu, saya jadi ingat pengalaman anak saya ketika pertama kali masuk sekolah di Jerman. Dulu anak saya sempat sekolah SD kelas 1 di Bandung. Pas sekolah di Jerman, harus masuk ke sekolah pra-SD karena umur belum 7 tahun (kurang beberapa bulan). Nah di pra-SD inilah dia termasuk anak yang bingung kalau pas pelajaran bebas (jam pelajaran dimana anak bebas mengerjakan apa saja yg dia mau di kelas). Dia juga sempat bosan karena sekolah di Jerman jauh lebih santai daripada dulu waktu di Bandung, terlalu banyak acara main-mainnya.
Ketika kemudian masuk ke kelas 1 SD, dia juga harus masuk ke kelas bahasa Jerman di jam-jam tertentu bersama anak-anak non-Jerman lainnya. Di situ dia belajar bahasa Jerman melalui permainan dan nyanyian. Setiap hari dia membawa pulang nyanyian Jerman baru. Alhamdulillah, dia termasuk cukup cepat menguasai bahasa barunya itu. Namun demikian, ternyata masalah yang berhubungan dengan kegiatan bermain atau kemampuan fisik masih menjadi hambatan buat dia. Dia selalu pasif jika sudah masuk ke jam pelajaran bebas. Memang, dari awalnya dia sudah punya bakat pemalu, dan itu juga menjadi salah satu kendala dalam dia beradaptasi dengan sekolah dan suasana yang baru ini.
Syukurnya, pihak sekolah memang mempunyai program yang cukup bagus untuk menangani anak-anak seperti anak saya ini. Ada beberapa terapi yang coba diterapkan kepadanya, sampai-sampai dia harus ikut terapi musik segala. Dan akhirnya setelah menjalani program yang diberikan oleh sekolah tersebut, kemampuan bermain dan berpikirnya sudah mulai bisa berimbang. Di setiap acara dimana orang tua bertemu dengan guru yang mengajar untuk membicarakan perkembangan anak, selalu ada kemajuan yang menggembirakan yang diperolehnya. Hal itu juga tertulis dengan lengkap dalam rapornya (rapornya hingga kelas 3 ini masih bukan berupa nilai mata pelajaran seperti di Indonesia, tetapi hanya berupa deskripsi perkembangan anak ditinjau dari berbagai aspek).
Nah masalahnya, tahun depan insya-Allah kami akan balik ke Indonesia, kasihan juga kalau nanti dia harus kembali beradaptasi dengan suasana dan pola belajar-mengajar yg jauh berbeda dengan yang sedang dia rasakan sekarang. Mungkin perlu banyak usaha lagi untuk membantu dia beradaptasi, atau mungkin saya harus mencari sekolah di Bandung yang kurikulumnya agak santai dan tidak terlalu banyak kegiatan yang membuat dia stres. Ya mungkin sekolah seperti di jaman saya dulu… 🙂
Oh iya, ada sedikit tambahan. Hal ini berkaitan dengan pernyataan Kak Seto yang juga dimuat dalam berita itu:
Senada dengan Reni, Kak Seto, pemerhati masalah anak, menyatakan bahwa bermain adalah hak asasi anak. Menurutnya setiap kota seharusnya memiliki taman bermain untuk anak-anak. Jika anak senang dan ada gerakan-gerakan maka kemampuan kognitifnya akan berkembang.
Di Hamburg ini, hampir di setiap tempat kita dapat menemukan taman bermain untuk anak dengan jenis mainan yang cukup bervariasi (bebas, tidak harus bayar, karena itu fasilitas yang diberikan oleh kota). Di sekolah-sekolah juga ada taman bermain seperti itu, seperti dalam film kartun Disney’s Recess, yang judul dalam bahasa Jermannya: Disneys Grosse Pause. Mengenang masalah taman bermain, saya jadi ingat bagaimana dulu tempat bermain di SD anak saya di Bandung malah digunakan untuk tempat parkir mobil/motor dan juga tempat berjualan para pedagang kaki lima (orang dewasa memang sukanya merampas hak dan fasilitas anak).
Memang tidak fair jika kita membandingkan Indonesia dengan Jerman. Tapi, seharusnya kalau secara teori kita tahu bahwa kesempatan bermain akan meningkatkan kemampuan kognitif anak, maka tidak ada salahnya kan kalau kita memperbanyak taman bermain untuk anak? Toh katanya (dalam spanduk-spanduk, iklan-iklan, dan pidato para penyelenggara negara), anak adalah calon generasi penerus kita! Masa yang diperbanyak hanya mall, yang merangsang kita untuk bertingkah laku boros dan konsumtif, atau gedung-gedung seminar yang besar, mewah dan canggih yang digunakan hanya sekedar untuk menyeminarkan masalah anak dan pendidikannya, mana harus bayar lagi kalau mau ikutan seminarnya…