Lumpur Lapindo belum juga berhenti, bahkan baca-baca di berita semakin banyak muncratnya. Baca berita lagi, sekarang lumpurnya sudah mulai dibuang ke laut, berdasarkan hasil keputusan tim nasional yang dibentuk SBY. Sebelum SBY memberi lampu hijau untuk mengijinkan lumpur itu dibuang kelaut, para pejabat berjanji hanya akan membuang airnya saja ke laut, bukan lumpurnya. Makanya waktu itu orang-orang yang punya jabatan itu rame-rame ngomong nggak genah tentang “water treatment”. Bahkan Pak menteri LH mencoba membuktikan bahwa air hasil treatment itu aman dengan cara meminumnya. Jelas menteri nekat, seperti mantan pemain debus, nggak ilmiah blas! Maksud saya, ya mbok pake cara yang lebih ilmiah dikit gitu lho, lagian kan masalah sebenernya bukan mau bikin air minum toh? Ah saya koq jadi inget sama kasus pencemaran di Buyat dulu, eh menteri LH nya malah ngadain pesta makan ikan dan nunjukkin gimana nikmatnya dia makan ikan. Malah denger-denger ikan yang dimakan juga bukan ditangkap dari Teluk Buyat.
Ujug-ujug, waktu SBY setuju lumpur itu dibuang ke laut, istilah “water treatment” pun mulai lenyap dari daftar kosa kata yang suka dipakai para pejabat kalau bicara soal lumpur Lapindo ini. Dan lebih gila lagi, lumpur itu langsung dibuang ke Sungai Porong, tanpa water treatment. Alasannya sederhana, “berpacu dalam melodi”, eh salah “berpacu dengan waktu”, biar tanggulnya nggak keburu jebol, apalagi mau dateng musim rendheng alias musim hujan. Pompa-pompa pun mulai didatangin dari Jakarta, siap bekerja 24 jam. Ah, pompa pun patuh sama instruksi tim nasional bentukan SBY itu. Coba bandingin aksi cepat mendatangkan dan menginstalasi pompa itu dengan rencana water treatment yang dulu digembar-gemborkan. Saya baca di sini, malah water treatmentnya masih pake taraf penelitian dulu. Lha, emergency koq masih pake neliti njelimet kaya gitu. Khan bisa aja toh ndatengin alat yang sudah siap pakai dengan kapasitas yang besar.
Membuang langsung lumpur ke Sungai Porong, kalau menurut saya, justru sangat riskan saat ini. Jelas Sungai Porong jadi makin dangkal. Sedimen yang kebawa ke Selat Madura pun akan berpotensi mendangkalkan daerah muara. Hal ini akan menimbulkan apa yang disebut sebagai “local sea level rise”. Ya permukaan laut di sekitar daerah itu akan naik, coba ingat-ingat kembali hukum Archimedes. Artinya, selain banjir lumpur, daerah sekitarnya siap-siaplah menerima banjir air kalau terjadi hujan yang cukup lebat. Apalagi sekarang sudah masuk bulan dengan akhiran -ber, yang kata orang-orang di kampung saya dulu di Jawa Tengah adalah saatnya musim hujan. Dan kata Perum Jasa Tirta, dalam kondisi banjir debit Sungai Porong bisa mencapai 1500 m3/detik. Gede lho itu…
Kata Pak Rovicky, lumpur Lapindo itu 70% nya adalah air. Logikanya, kalau kita buang yang 70% nya saja, sisa 30% kan? Itung-itungan ala tukang kulakan ya jelas sudah menguntungkan. Cuman memang perlu usaha memisahkan air dari lumpurnya. Ya nggak perlu jernih-jernih amat seperti hasil treatment yang diminum sama Pak Menteri LH itulah, yang penting nggak keruh-keruh amat lah.
Ya tapi kadang-kadang kita suka seperti kerbau ditusuk hidungnya sih kalau yang sudah ngomong itu orang yang jabatannya Presiden. Padahal Presiden kan manusia juga ya? Kalau saya jadi menterinya, pasti deh saya bilangin ke pak Presiden itu bahwa kalau ngebuang langsung lumpurnya itu ke sungai atau laut resikonya juga banyak. Masalahnya bukan apa-apa, kalau lumpurnya cuman satu ember sih nggak masalah, lha ini kan minta ampun banyaknya.
Saya koq jadi ingat sama kasus jaman dulu waktu Gubernur Jawa Tengah dateng ke suatu desa yang dilanda paceklik dan penduduknya hanya makan gaplek. Pak Gubernurnya ikutan makan gaplek dan bilang “uenak koq gaplek juga!”. Lha ya iya, pak Gubernurnya makan gapleknya cuman sekali, lha penduduk yang paceklik itu kan makan gapleknya tiap hari pak, pagi-siang-sore-malam. Ya mana tahan atuh! Kepriben sampeyan! Wong kaya kue koq isa dadi gubernur, jan! Lho, koq saya malah jadi ngomong Banyumasan? Kaya mendiang Kasino Warkop aja! Eh, koq jadi nggak nyambung gini ya paragraf penutupnya?