Feeds:
Pos
Komentar

Archive for September, 2006

SBY, Menteri, dan lumpur Lapindo

Lumpur Lapindo belum juga berhenti, bahkan baca-baca di berita semakin banyak muncratnya. Baca berita lagi, sekarang lumpurnya sudah mulai dibuang ke laut, berdasarkan hasil keputusan tim nasional yang dibentuk SBY. Sebelum SBY memberi lampu hijau untuk mengijinkan lumpur itu dibuang kelaut, para pejabat berjanji hanya akan membuang airnya saja ke laut, bukan lumpurnya. Makanya waktu itu orang-orang yang punya jabatan itu rame-rame ngomong nggak genah tentang “water treatment”. Bahkan Pak menteri LH mencoba membuktikan bahwa air hasil treatment itu aman dengan cara meminumnya. Jelas menteri nekat, seperti mantan pemain debus, nggak ilmiah blas! Maksud saya, ya mbok pake cara yang lebih ilmiah dikit gitu lho, lagian kan masalah sebenernya bukan mau bikin air minum toh? Ah saya koq jadi inget sama kasus pencemaran di Buyat dulu, eh menteri LH nya malah ngadain pesta makan ikan dan nunjukkin gimana nikmatnya dia makan ikan. Malah denger-denger ikan yang dimakan juga bukan ditangkap dari Teluk Buyat.

Ujug-ujug, waktu SBY setuju lumpur itu dibuang ke laut, istilah “water treatment” pun mulai lenyap dari daftar kosa kata yang suka dipakai para pejabat kalau bicara soal lumpur Lapindo ini. Dan lebih gila lagi, lumpur itu langsung dibuang ke Sungai Porong, tanpa water treatment. Alasannya sederhana, “berpacu dalam melodi”, eh salah “berpacu dengan waktu”, biar tanggulnya nggak keburu jebol, apalagi mau dateng musim rendheng alias musim hujan. Pompa-pompa pun mulai didatangin dari Jakarta, siap bekerja 24 jam. Ah, pompa pun patuh sama instruksi tim nasional bentukan SBY itu. Coba bandingin aksi cepat mendatangkan dan menginstalasi pompa itu dengan rencana water treatment yang dulu digembar-gemborkan. Saya baca di sini, malah water treatmentnya masih pake taraf penelitian dulu. Lha, emergency koq masih pake neliti njelimet kaya gitu. Khan bisa aja toh ndatengin alat yang sudah siap pakai dengan kapasitas yang besar.

Membuang langsung lumpur ke Sungai Porong, kalau menurut saya, justru sangat riskan saat ini. Jelas Sungai Porong jadi makin dangkal. Sedimen yang kebawa ke Selat Madura pun akan berpotensi mendangkalkan daerah muara. Hal ini akan menimbulkan apa yang disebut sebagai “local sea level rise”. Ya permukaan laut di sekitar daerah itu akan naik, coba ingat-ingat kembali hukum Archimedes. Artinya, selain banjir lumpur, daerah sekitarnya siap-siaplah menerima banjir air kalau terjadi hujan yang cukup lebat. Apalagi sekarang sudah masuk bulan dengan akhiran -ber, yang kata orang-orang di kampung saya dulu di Jawa Tengah adalah saatnya musim hujan. Dan kata Perum Jasa Tirta, dalam kondisi banjir debit Sungai Porong bisa mencapai 1500 m3/detik. Gede lho itu…

Kata Pak Rovicky, lumpur Lapindo itu 70% nya adalah air. Logikanya, kalau kita buang yang 70% nya saja, sisa 30% kan? Itung-itungan ala tukang kulakan ya jelas sudah menguntungkan. Cuman memang perlu usaha memisahkan air dari lumpurnya. Ya nggak perlu jernih-jernih amat seperti hasil treatment yang diminum sama Pak Menteri LH itulah, yang penting nggak keruh-keruh amat lah.

Ya tapi kadang-kadang kita suka seperti kerbau ditusuk hidungnya sih kalau yang sudah ngomong itu orang yang jabatannya Presiden. Padahal Presiden kan manusia juga ya? Kalau saya jadi menterinya, pasti deh saya bilangin ke pak Presiden itu bahwa kalau ngebuang langsung lumpurnya itu ke sungai atau laut resikonya juga banyak. Masalahnya bukan apa-apa, kalau lumpurnya cuman satu ember sih nggak masalah, lha ini kan minta ampun banyaknya.

Saya koq jadi ingat sama kasus jaman dulu waktu Gubernur Jawa Tengah dateng ke suatu desa yang dilanda paceklik dan penduduknya hanya makan gaplek. Pak Gubernurnya ikutan makan gaplek dan bilang “uenak koq gaplek juga!”. Lha ya iya, pak Gubernurnya makan gapleknya cuman sekali, lha penduduk yang paceklik itu kan makan gapleknya tiap hari pak, pagi-siang-sore-malam. Ya mana tahan atuh! Kepriben sampeyan! Wong kaya kue koq isa dadi gubernur, jan! Lho, koq saya malah jadi ngomong Banyumasan? Kaya mendiang Kasino Warkop aja! Eh, koq jadi nggak nyambung gini ya paragraf penutupnya?

Read Full Post »

Catatanku tentang Ramadan

Kubuka buku harianku, dan kutuliskan ini di sana menjelang bulan suci Ramadan 1427 Hijriah

Hmm, tak terasa sebentar lagi akan masuk bulan Ramadan. Seperti biasa, perasaan manusia akan bermacam-macam menjelang bulan Ramadan ini, ada yang gembira tapi mungkin juga ada yang tidak gembira. Buat para peminta-minta, bisa jadi bulan Ramadan adalah bulan yang menggembirakan karena biasanya di bulan Ramadan ini banyak orang berubah menjadi dermawan, mudah memberi dan dalam jumlah yang cukup banyak, padahal di 11 bulan lainnya mereka kadang jarang bahkan tak pernah memberi. Buat para pedagang pakaian dan asesorinya, bulan Ramadan juga termasuk bulan yang dinanti-nantikan. Biasanya di bulan Ramadan ini akan banyak orang membeli pakaian baru, untuk nanti dipakai sendiri di hari Lebaran, juga untuk hadiah bagi karyawan, anak buah, kerabat dan juga kolega…

Di Indonesia jaman dahulu, para pebisnis parsel juga selalu bergembira di bulan Ramadan. Tapi di Indonesia jaman sekarang, kegembiraan para pebisnis parsel semakin berkurang, terutama sejak adanya himbauan atau larangan agar para pejabat publik atau pejabat negara dilarang menerima parsel. Mungkin bukan hanya para pebisnis saja yang hilang keceriaannya dengan himbauan atau larangan ini, para pejabat negara penerima parsel dan mereka yang suka memberi parsel pun harus berpikir keras: bagaimana agar simbiosis mutualisma dalam bentuk perparselan dapat terus berjalan, mungkin dalam bentuk yang lain atau tekhnik yang berbeda…

Para pembantu rumah tangga dan para pekerja di sektor lain yang datang dari kampung biasanya cukup senang menyambut bulan Ramadan ini, karena biasanya sang majikan atau perusahaan tempat mereka kerja akan memberi mereka THR (Tunjangan Hari Raya) atau gaji ke-13 dan waktu untuk mudik pulang kampung selama 1 atau 2 pekan, berlebaran dengan sanak saudara di kampung. Buat para pebisnis jasa transportasi, pulangnya para pebantu rumah tangga dan kawan-kawannya ini juga akan memberikan keuntungan tersendiri, setidaknya mereka bisa menaikkan tarif angkutan hingga 2 kali lipat atau bahkan lebih selama beberapa pekan sebelum dan sesudah lebaran…

Pulangnya para pembantu rumah tangga ini memberikan kepusingan tersendiri buat para majikan, setidaknya selama beberapa minggu mereka harus bisa menyediakan tenaga ekstra untuk mencuci piring dan baju, membersihkan rumah, memasak, dan segudang pekerjaan rumah tangga lainnya yang biasanya dilakukan oleh para pembantu rumah tangga. Kondisi yang cukup berat buat banyak orang mungkin, tapi jangan kuatir sekarang ada jasa pembantu rumah tangga khusus untuk hari-hari di akhir bulan Ramadan dan hari-hari saat lebaran, walaupun dengan tarif yang cukup mahal…

Bulan Ramadan juga sering dijadikan bulan sweeping tempat hiburan malam oleh sekelompok orang yang merasa dirinya punya hak mensweeping, padahal, menurut interpretasiku, ibadah puasa Ramadan jelas-jelas hanya ditujukan untuk orang yang beriman saja. Buat mereka yang tidak beriman, Allah hanya mengingatkan “siksaku amat berat” di hari pembalasan kelak. Paling banter manusia hidup hanya 100 tahun, setelah itu dia tidak bisa lagi hidup seenak udelnya sendiri di tempat dimana kalau manusia sudah masuk ke situ dia tidak bisa kembali lagi ke dunia meskipun hanya untuk satu detik saja. Artinya, biarkanlah mereka dengan pembangkangan dan kecongkakannya, toh Nabi Nuh pun tidak punya kuasa untuk mengajak anaknya ikut di dalam perahunya…

Menurutku, para sweeper Ramadan itu tak perlu “mengotori” ibadah Ramadannya dengan membuat “kerusakan” (merusak tempat hiburan malam) atau “kekerasan” (main hakim sendiri) terhadap mereka yang tak beriman dan membangkang kepada perintah puasa Ramadan. Menurutku, lebih baik mereka lebih berkonsentrasi membangun dan mendidik diri sendiri dan umat, membangun dan mendidik diri sendiri dan mereka yang masih beriman dan yang tidak membangkang agar tetap istiqomah di jalan-Nya. Supaya tujuan Ramadan, menciptakan manusia yang beriman agar semakin bertakwa, menjadi kenyataan. Menurutku, itu bukan pekerjaan mudah. Sampai kini pun level keimanan dan ketakwaanku yang sudah mengalami Ramadan lebih dari 25 tahun masih mengalami pasang surut, apalagi dengan tingkat godaan duniawi yang semakin hari semakin canggih dan mutakhir saja…

Ramadan kadang membuat para pelaku bisnis warung makan “sewot” (yakinlah mereka tidak akan berani secara eksplisit mengekspresikan kesewotannya itu, karena itu bisa jadi sama saja dengan “menggali kubur sendiri”), terutama dengan adanya peraturan daerah yang melarang mereka tetap buka di siang hari. Apalagi, kadangkala, para polisi pamong praja suka sangar menindak para pedagang itu, padahal mereka (para polisi pamong praja itu) sedang berpuasa. Lalu apa artinya puasa itu buat mereka, jika tetap bertindak semena-mena…

Soal warung makanan ini, sebenarnya di hatiku juga ada dilema. Banyak dari mereka yang membuka warung makan adalah orang Islam dan juga melaksakan puasa Ramadan. Sejujurnya, aku pun bertanya-tanya dalam hati, bolehkah mereka tetap memberi makan orang-orang yang tak beriman dan membangkang itu? (yang berani tidak melaksanakan puasa Ramadan padahal mereka bisa dan wajib -mereka yang mengaku beragama Islam atau setidaknya di KTP-nya agamanya Islam-). Kalau menurut logika dan hatiku, seharusnya mereka -para pemilik warung makan yang kebetulan beragama Islam dan menjalankan puasa Ramadan- tidak perlu membuka warung makannya di siang hari. Mereka bisa mulai membuka warungnya di saat-saat menjelang buka puasa dan di saat sahur. Kalaupun warung makan mereka berada di daerah perkantoran, mereka tetap bisa membukanya di saat menjelang waktu buka puasa, apalagi kalau pegawai kantornya banyak yang bekerja sampai malam hari. Artinya, menurutku, selalu ada alternatif buat mereka untuk berbuat yang paling baik dan paling afdol selama bulan Ramadan, yang tidak “mengurangi” nilai ibadah puasa yang mereka kerjakan. Tapi aku akui untuk bisa berbuat seperti itu tantangannya mungkin sangat berat, apalagi kalau sudah berurusan dengan uang dan pendapatan…

Aku sendiri selalu suka bulan Ramadan, meskipun semasa kecil aku tidak pernah kuat untuk berpuasa penuh setiap harinya, dan orang tuaku pun tak pernah marah dan memaksa aku untuk berpuasa. Tapi mereka tak pernah lupa memberi aku baju baru untuk lebaran. Aku, juga beberapa teman sebaya lainnya, kadang kecewa kalau tidak dibelikan baju baru. Padahal, hal terpenting di bulan Ramadan adalah puasa Ramadannya bukan baju barunya. Tapi bagaimana lagi, hal seperti itulah yang lebih dalam tertanam dalam diriku dan teman sebaya lainnya. Sudah tradisi, sulit untuk mengubahnya…

Ketika aku sudah dewasa bahkan menginjak tua, menahan lapar sudah bukan masalah lagi bagiku, juga baju baru bukan sesuatu yang harus ada. Bahkan aku jarang membeli baju. Baju yang ada dan aku pakai sekarang pun kebanyakan adalah baju yang aku beli 3 sampai 5 tahun yang lalu. Tapi bukan berarti puasa Ramadanku bisa jauh lebih berkualitas dari tahun-tahun sebelumnya. Seperti sudah aku katakan di depan, godaan di dunia ini selalu berkembang dan semakin mutakhir setiap waktunya, sama dengan teknologi yang juga semakin mutakhir seiring dengan berjalannya waktu…

Buatku, berusaha untuk lebih baik di bulan Ramadan berikutnya dan selalu berharap kasih sayangnya adalah hal yang terbaik. Sejujurnya, aku selalu rindu bulan Ramadan, bukan karena ada THR, banyaknya orderan, adanya kesempatan mudik atau cuti bersama, juga bukan karena baju baru, tapi karena di bulan itulah ada banyak hal bisa memotivasiku untuk selalu mendekatkan diriku dengan sang Maha Pencipta, tempat aku kembali kelak jika saatnya tiba…

Read Full Post »

Bleketepe

Istri saya bertanya: “Apa sih bleketepe itu?” setelah membaca berita tentang rencana perkawinan Lulu “Tersanjung” Tobing dengan Danny Rukmana, cucu Pak Harto. Seingat saya, yang pernah jadi orang yang tinggal di desa, bleketepe itu adalah anyaman yang terbuat dari daun kelapa alias janur, dan ternyata memang benar seperti itu.

Hanya saja, di masa kecil hingga SMA saya dulu di desa, bleketepe yang akrab dengan saya adalah anyaman dari janur yang berguna untuk berbagai fungsi, bukan hanya sekedar untuk acara pernikahan atau malah tolak bala seperti yang sekarang dipakai oleh orang-orang kaya di Jakarta yang sedang melaksanakan hajatan. Bahkan bleketepe ini lebih sering digunakan untuk pagar penutup kamar mandi atau WC. Jadi, rupanya bleketepe di kota derajatnya lebih tinggi daripada bleketepe di desa.

Ngomong-ngomong tentang pohon kelapa, dia adalah salah satu pohon yang semua bagiannya dapat dimanfaatkan oleh manusia. Sewaktu saya hidup di desa dulu, hampir di setiap rumah orang-orang desa bisa ditemukan peralatan yang dibuat dari bagian pohon kelapa. Batok kelapa yang bulat utuh biasa digunakan sebagai gayung (siwur) untuk mengambil air, tinggal diberi gagang bambu saja sebagai pegangan. Ada juga yang dibuat irus (sendok sayur atau semacam suthil buat menggoreng), centong, bahkan untuk kepalanya jaelangkung. Batok kelapa juga sangat bagus untuk kayu bakar, apinya katanya lebih bagus dari kayu bakar biasa. Di jaman sekarang, tapi bukan di desa saya, batok kelapa juga banyak digunakan untuk membuat arang karbon aktif untuk filter pada proses penjernihan air.

Batang pohon kelapa sangat keras dan biasanya banyak dimanfaatkan untuk membuat alu (tongkat panjang untuk menumbuk beras jadi tepung, bahasa Jawanya: kayu dowo sing ngalusne beras supoyo dadi glepung). Pasangannya alu namanya lumpang atau lesung, biasanya dibuat dari batu atau kayu. Nah, kalau mau ngadain hajatan atau menjelang hari raya idul fitri, orang kaya di desa biasanya suka membuat snack mewah bernama jenang alias dodol yang dibuat dari beras ketan (tapi beras ketannya bukan hasil imbal dagang dengan pesawat terbangnya IPTN lho!). Biasanya, orang yang membuat jenang itu meminta tolong ibu-ibu di sekitarnya untuk membuatkan tepung beras ketannya. Karena tepung ketannya dibuat dalam jumlah yang banyak, biasanya untuk menghilangkan rasa capek dan bosan, ibu-ibu itu suka kothekan, memukul lumpang atau lesung secara berirama dan enak didengar. Saya paling senang kalau ada kothekan ini.

Hehehe… ngomongin bleketepe koq jadi kemana-mana gini. Udah dulu ah, nanti lain kali saya sambung lagi tentang pemanfataan bagian dari pohon kelapa yang lainnya. Buat mbak Tutut, ‘met mantu mbak! ada pembagian nasi bungkus lagi nggak, kaya jaman dulu waktu jadi Menteri Sosial? hehehe…

Read Full Post »

Older Posts »