Awal Desember 2017 kemarin saya sempat ikut survey pendahuluan sampah domestik di sekitaran Muara Angke dan Waduk Kali Adem. Ceritanya, dalam rangka mengurangi jumlah sampah rumah tangga yang terangkut ke Teluk Jakarta melalui Kali Adem, BNI akan memfokuskan salah satu program CSR-nya dengan menerapkan teknologi yang sudah dikaji oleh BPPT. Survey pendahuluan ini sendiri dilakukan dengan melibatkan KKP, BPPT, dan SKPD setempat.
Kegiatan survey dimulai dari Pasar Ikan Muara Angke, kemudian dilanjutkan ke Kampung BNI untuk perikanan di Muara Angke, Waduk Kali Adem, dan TPS Muara Angke. Karena surveynya tentang sampah, apalagi di kawasan pesisir, maka sudah bisa diduga seperti apa baunya yang luar biasa. Saking kuatnya, aroma sampah bisa menempel di pakaian dan juga bulu hidung, kombinasi antara bau ikan asin, sampah busuk, dan keringat 🙂
Urusan kawasan pesisir DKI Jakarta dan sampahnya memang cukup rumit dan kompleks. Di kawasan ini banyak sekali kawasan permukiman kumuh yang ilegal. Konon masyarakat yang menempati kawasan tersebut sengaja membuang sampah di tepi sungai atau pesisir agar jumlah daratan yang dapat mereka okupasi bertambah.
Urusan sampah yang harusnya menjadi tanggung jawab bersama di dalam pengelolaannya sering mengalami jalan buntu di kawasan ini. Belum lagi urusan limbah cair domestik, kegiatan industri ikan asin skala rumah tangga, dan juga pasar ikan. Jadi, meskipun teknologi, program dan rencana kerja sudah ada, bukan berarti dapat segera diimplementasikan dengan mudah. Ada banyak sekali urusan non-teknis yang menjadi kendala yang harus dihadapi dan diselesaikan satu persatu.
Dan hal inilah yang menjadi tantangan tersendiri bagi mereka yang perduli untuk menjadikan DKI Jakarta menjadi lebih baik lagi. PR besar buat kita semuanya.
Dan hal inilah yang menjadi tantangan tersendiri bagi mereka yang perduli untuk menjadikan DKI Jakarta menjadi lebih baik lagi. PR besar buat kita semuanya.