Beberapa orang bapak lamat-lamat mendengungkan takbir ketika pak ustadz yang berceramah di pengajian Ramadan malam itu melantunkan beberapa ayat suci Al-Quran dengan suara yang merdu dan melengking. Sayangnya, di malam berikutnya, beberapa orang bapak yang pada malam sebelumnya lamat-lamat mengumandangkan takbir itu asyik ngobrol sendiri ketika yang membacakan ayat suci Al-Quran hanya seorang anak berumur belasan tahun dengan irama yang kurang begitu merdu. Bahkan seorang bapak malah asyik mengobrol dengan sang ustadz ketika anak tersebut masih mendendangkan ayat suci Al-Quran itu. Ironis…
Banyak jemaah yang menangis dan mengeluarkan air mata ketika malam itu sang ustadz memimpin doa penutup sebelum memulai shalat ‘Isa dan Tarawih karena sang ustadz mampu mengaduk-ngaduk perasaan para jamaah dengan bacaan doa yang cenderung “teatrikal”, namun sayangnya di malam yang lain minggu sebelumnya tak seorangpun yang meneteskan air mata, padahal doa yang dipanjatkan hampir sama, hanya karena yang memimpin doa pada minggu sebelumnya itu tidak biasa berdoa ala “pemain teater”. Ironis…
Jamaah tarawih malam itu berlimpah banyak sekali, karena sang ustadz mampu membawakan ceramahnya dengan sangat baik dan dia didatangkan langsung dari Indonesia. Jamaah pun mendengarkannya dengan sangat khusyu’, meskipun sang ustadz menyampaikannya dalam waktu lebih dari satu jam. Berbeda dengan minggu sebelumnya, jumlah jamaah sedikit, padahal sang penceramah memberikan materi yang juga sangat bagus. Ceramah yang hanya berlangsung setengah jam itu pun harus dilatarbelakangi dengan suara berisik obrolan beberapa orang di luar ruang aula sana yang samar-samar masuk dan juga wajah-wajah yang lesu, ngantuk, dan tak bersemangat. Ironis…
Ironis memang! Kita ternyata masih sering terperangkap pada kemasan. Isi yang sama-sama bagus tapi dengan kemasan yang berbeda, satu bagus dan lainnya kurang bagus, akan mencondongkan hati kita untuk mengutamakan yang kemasannya bagus dan mengabaikan, meremehkan, atau bahkan menganggap tidak ada yang kemasannya kurang bagus atau biasa-biasa saja. Yang lebih ironis lagi, hal itu terjadi dan ditemukan dalam sebuah majelis yang di dalamnya banyak disampaikan hal-hal tentang keimanan, ketakwaan, dan nasehat-nasehat untuk menjadi manusia yang sebaik-baiknya.
Ternyata, memang susah untuk menjadi manusia yang benar-benar beriman, bertakwa dan sebaik-baiknya manusia…
mas agus kok blognya udah beda yah,harus tekan prev dan next dulu,prasaan dulu ada recent entry deh…susah jadinya,kalo udah lama nggak mampir pengen liat2…
Hmmm,postingannya dalem…emang susah jadi org yg bener2 beriman dan bertakwa…
Ironis memang, sepertinya kurungan identitas lebih penting dari pada isinya .. dan itu dimana-mana, yang selanjutnya membuat kita jadi terkotak-kotak…
Ironis…apakah aku juga (masih) seperti orang-orang yang ditulis Mas Agus itu yah? Judge a book by it’s cover….