Feeds:
Pos
Komentar
cover_buku_profil_kp_satal

Gambar sampul depan buku

Alhamdulillah, di tahun 2016 ada satu buku yang berhasil saya susun. Buku ini diterbitkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir (yang kini berubah nama menjadi Pusat Riset Kelautan). Judul bukunya adalah: “Profil Kelautan dan Perikanan Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Kabupaten Kepulauan Talaud, Propinsi Sulawesi Utara”. Buku ini berisikan informasi tentang gambaran umum, kondisi hidro-oseanografi, dan sumberdaya ikan di kedua kabupaten kepulauan yang berada di wilayah perbatasan.

Di era pemerintahan Jokowi-JK dengan Nawacitanya, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memiliki program yang diberi nama Program Pengembangan Kawasan Kelautan dan Perikanan Terintegrasi (PK2PT) di 5 pulau terdepan, yaitu Kabupaten Merauke (Papua), Simeulue (Aceh), Natuna (Riau), Maluku Tenggara Barat (Maluku), dan Sangihe (Sulawesi Utara). Di tahun 2016, PK2PT kembali dilanjutkan dan berubah nama menjadi Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu (SKPT) dan dituangkan ke dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan RI nomor 40/Permen-KP/2016 tentang Penugasan Pelaksanaan Pembangunan Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu di Pulau-pulau Kecil dan Kawasan Perbatasan.

Versi digital dari buku ini dapat diakses di laman ResearchGate saya berikut ini. Silahkan saja diunduh jika ada yang berminat.

 

IMG_20171205_110226_HDR

Kondisi TPS di Muara Angke

Awal Desember 2017 kemarin saya sempat ikut survey pendahuluan sampah domestik di sekitaran Muara Angke dan Waduk Kali Adem. Ceritanya, dalam rangka mengurangi jumlah sampah rumah tangga yang terangkut ke Teluk Jakarta melalui Kali Adem, BNI akan memfokuskan salah satu program CSR-nya dengan menerapkan teknologi yang sudah dikaji oleh BPPT. Survey pendahuluan ini sendiri dilakukan dengan melibatkan KKP, BPPT, dan SKPD setempat.

Kegiatan survey dimulai dari Pasar Ikan Muara Angke, kemudian dilanjutkan ke Kampung BNI untuk perikanan di Muara Angke, Waduk Kali Adem, dan TPS Muara Angke. Karena surveynya tentang sampah, apalagi di kawasan pesisir, maka sudah bisa diduga seperti apa baunya yang luar biasa. Saking kuatnya, aroma sampah bisa menempel di pakaian dan juga bulu hidung, kombinasi antara bau ikan asin, sampah busuk, dan keringat 🙂

Urusan kawasan pesisir DKI Jakarta dan sampahnya memang cukup rumit dan kompleks. Di kawasan ini banyak sekali kawasan permukiman kumuh yang ilegal. Konon masyarakat yang menempati kawasan tersebut sengaja membuang sampah di tepi sungai atau pesisir agar jumlah daratan yang dapat mereka okupasi bertambah.

Urusan sampah yang harusnya menjadi tanggung jawab bersama di dalam pengelolaannya sering mengalami jalan buntu di kawasan ini. Belum lagi urusan limbah cair domestik, kegiatan industri ikan asin skala rumah tangga, dan juga pasar ikan. Jadi, meskipun teknologi, program dan rencana kerja sudah ada, bukan berarti dapat segera diimplementasikan dengan mudah. Ada banyak sekali urusan non-teknis yang menjadi kendala yang harus dihadapi dan diselesaikan satu persatu.

IMG_20171205_102226_HDR

Para petugas sedang mengumpulkan sampah yang terkumpul di Waduk Kali Adem

Dan hal inilah yang menjadi tantangan tersendiri bagi mereka yang perduli untuk menjadikan DKI Jakarta menjadi lebih baik lagi. PR besar buat kita semuanya.

Jakarta dan Banjir

Apakah Jakarta bisa terbebas dari banjir? Ini adalah sebuah pertanyaan menarik, sama menariknya dengan pertanyaan: “Apakah Jakarta bisa terbebas dari macet?” Kalau pertanyaan ini diajukan ke para “Ebiet G. Ade-isme”, bisa jadi jawabannya adalah “coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang!”.

Banjir dan macet adalah 2 isu seksi yang selalu muncul menjelang pemilihan gubernur dan wakil gubernur di DKI Jakarta. Dan semua calon yang bertarung di Pilkada selalu yakin bisa membuat DKI Jakarta bebas dari banjir dan macet! Mungkin tidak cukup realistis, tapi jawaban seperti itulah yang selalu diharapkan oleh hampir semua penduduk DKI Jakarta.

Hingga gubernur dan wakil gubernur yang sekarang, sepertinya gebrakan yang cukup signifikan, cepat, dan terencana yang sukses dilakukan dan mampu meminimalkan banjir dan memperpendek waktu genang di DKI Jakarta terjadi di era Jokowi-Ahok yang kemudian dilanjutkan oleh Ahok-Djarot. Sayangnya, setelah kondisi “minim banjir dan genangan” itu, masa awal kepemimpinan Anies-Sandi sebagai gubernur dan wakil gubernur baru di 2017 harus dimulai dengan banjir dan genangan kembali. Untungnya masih ada “cuaca ekstrim” yang bisa dijadikan kambing hitam. Padahal prediksi cuaca (ekstrim) yang dikeluarkan oleh BMKG dilakukan secara rutin dan disebarkan melalui berbagai media sosial dan media massa minimal sehari sebelumnya. Jadi mestinya sudah mencukupi untuk bisa menyusun langkah antisipasi atau mitigasi.

Banjir di DKI Jakarta memang sulit untuk dihilangkan, tetapi sangat mungkin untuk diminimalisir. Normalisasi dan revitalisasi Daerah Aliran Sungai (DAS) dan waduk, pengurangan laju penurunan tanah, perluasan daerah resapan air, penataan permukiman ilegal, peninggian tanggul sepanjang aliran sungai dan di sepanjang pesisir, pengelolaan rumah pompa banjir adalah beberapa cara ampuh yang dapat dan harus dilakukan untuk meminimalisir banjir tersebut. Masalahnya, untuk melakukan itu semua, kita tidak bisa hanya mengandalkan gubernur dan wakil gubernur saja, sementara kita masih tanpa beban membuang sampah sembarangan, membangun di area yang tidak seharusnya ada bangunan, merusak lingkungan, dll. Selain itu, biaya yang dibutuhkan untuk melakukan semua cara tersebut juga tidak sedikit.

Jadi, menjadikan Jakarta sebagai ibukota yang minim banjir adalah pekerjaan rumah kita semua..